Kamis, 26 November 2009

TRADISI TEOLOGIS CALVINIS DI INDONESIA

Tradisi teologis Calvinis di Indonesia - sebuah pendekatan sejarah sosial

Siapa pewaris teologi Calvinis di Indonesia?
Bukan cuma gereja tetapi juga berbagai lembaga Kristen maupun lembaga publik/umum lainnya yang secara sadar-tak sadar, secara sengaja-tak sengaja, menggunakan pokok-pokok khas dalam teologi Calvinis: kedaulatan dan kemuliaan Allah, kebobrokan manusia, pentingnya pendidikan seumur hidup, perlunya hidup yang disiplin dan teratur, dst.
Kekristenan bukan hanya direpresentasikan oleh gereja-gereja. Tidak fair berbicara tentang Kekristenan hanya menyebut gereja. Dari sudut kelembagaan sesungguhnya lembaga gereja – dalam tradisi Protestan – hanyalah salah satu dari unsur pembentuk identitas masyarakat Kristen (di samping keluarga Kristen dan pendidikan/sekolah Kristen).
Gereja-gereja Calvinis di Indonesia banyak yang lalai dengan kenyataan bahwa lembaga keluarga dan lembaga pendidikan pada dasarnya adalah mitra sejajar dalam menanamkan nilai-nilai ‘Calvinis’. Sering terjadi gereja menyerahkan begitu saja penanaman nilai-nilai tersebut kepada masing-masing keluarga atau lembaga pendidikan, sehingga tak jarang banyak keluarga yang kehilangan pegangan, demikian juga para penyelenggara sekolah-sekolah Kristen. Hal ini bisa dimaklumi karena memang gereja-gereja kita sendiri tidak terlalu sepakat mengenai perlunya warisan tersebut dipertahankan. Gereja-gereja yang mengaku bertradisi Calvinis juga seringkali kehilangan orientasi di tengah berbagai perkembangan yang begitu kaya di dalam tradisi ini.

Dalam percakapan kali ini saya hendak mengajak kita memperhatikan beberapa hal. Yang pertama dan paling penting dalam rangka mengenang tokoh Reformasi yang penting ini adalah bahwa para pewaris langsung Calvin adalah murid-muridnya, yang bisa kita sebut sebagai kaum Calvinis atau Reformed. Gereja-gereja serta lembaga-lembaga Kristen di Indonesia adalah pewaris dari kaum Calvinis atau Reformed yang tidak perlu terlalu mengagungkan masa lalu, sebagaimana kaum Calvinis juga telah mengolah lebih lanjut warisan yang mereka terima dari para pendahulunya dan mereka gumuli dalam konteks mereka, serta dalam ketaatan kepada Firman. Prinsip ini penting karena dalam tradisi Reformasi perubahan demi aktualitas penerapan Firman adalah yang terutama. Ketika gereja berhenti mengembangkan diri, ia akan tercecer, atau terjebak di masa lampau.
Hal yang kedua adalah bahwa dalam perkembangan Kekristenan kaum Calvinis terbagi ke dalam banyak kelompok, ada yang fundamentalis ada yang moderat. Ada yang menjadi unsur pembentuk yang penting dalam gerakan keesaan sedunia, dan juga di Indonesia, ada yang dengan sadar tidak mau terlibat dalam gerakan keesaan sedunia (yang diwakili oleh WCC), namun tidak berkeberatan ikut serta dalam perkumpulan gereja-gereja Calvinis (dalam WARC dan/atau REC). Penting sekali bagi kita menyadari kepelbagaian di dalam tradisi Calvinis ini. Karena memang tidak ada satu pusat atau kekuatan sentralistik di dalam tradisi Calvin. Kekhasan tradisi ini adalah kesepakatan di dalam mekanisme persidangan di antara mitra sejajar, mulai dari lingkungan yang paling kecil (Jemaat setempat) hingga lingkungan yang paling luas (persidangan sinode nasional).
Dua prinsip penting ini akan menjadi rambu penting dalam percakapan kita saat ini: perubahan dinamis dan berkesinambungan di dalam tradisi; dan kepelbagaian ekspresi teologis di dalam tradisi sehingga menghasilkan kekayaan yang luar biasa. Jadi wajar juga, jika di antara sesame anggota keluarga besar Calvinis terjadi persaingan, bahkan pertengkaran.
Kita akan mulai mengamati perkembangan historis kehadiran teologi Calvinis yang masuk dan berkembang di Indonesia. Kemudian akan dilanjutkan dengan beberapa usul untuk mengapresiasi warisan teologi Calvinis bagi Kekristenan Indonesia masa kini.

Bagaimana pengaruh teologi Calvinis di kalangan Kekristenan dan masyarakat umum di Indonesia pada masa yang lampau?
Orang-orang Belanda belum terlalu lama menganut ‘agama’ Calvinis (gereformeerd religie) ketika mereka mulai melakukan penjelajahan samudera dan membangun imperium dagang yang impresif pada zamannya, Kongsi Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Ketika Sinode Nasional yang monumental berlangsung di Dordrecht (1618/19) kehadiran para pendeta dan kiprah gereja di Hindia juga ikut mendapat perhatian. Mulai dari proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu hingga posisi para pendeta yang dikirim ke Hindia. Mulai dari bahan-bahan katekisasi hingga status Kekristenan penduduk asli di Hindia yang baru dibaptis.
Dalam studi-studi zaman kolonial, para sejarawan menemukan hal menarik yang sering tidak disadari oleh para teolog dan sejarawan gereja. Yaitu bahwa proses penanaman Kekristenan (hal ini harus dibedakan dengan proses Kristenisasi atau pekabaran Injil yang mulai terjadi pada abad ke-19, melalui badan-badan misi swadaya) di kalangan kaum Protestan ternyata merupakan proses dua arah. Identitas Kekristenan di negeri asal (bangsa-bangsa Eropa Protestan, dalam studi mereka kebanyakan Inggris dan Belanda) tidak berkembang secara linear tanpa pengaruh pengalaman yang dibentuk di Hindia (wilayah-wilayah di mana VOC dan EIC, milik Inggris). Ternyata teologi yang dibawa tidak statis, bahkan bukan barang jadi yang sudah final.
Hal ini menjadi menarik karena ada banyak hal yang mereka jumpai di Hindia yang sama sekali merupakan pengalaman baru, dan tidak ada perbandingannya dengan pengalaman sebelumnya di negeri asal. Pengalaman baru ini menuntut mereka yang ada di lapangan (para pendeta, majelis gereja), maupun di negeri asal (pemegang saham kongsi dagang, dan persidangan-persidangan sinode, maupun panitia-panitia khusus yang dibentuk untuk menangani urusan di negeri seberang) untuk bekerja keras, bergumul dan kemudian merumuskan pengertian baru dan melakukan terobosan-terobosan teologis maupun legal/hukum. Dan bersama berjalannya waktu, serta munculnya generasi terdidik lulusan perguruan tinggi yang menjadi pendeta-pendeta di Belanda, sejumlah pendeta bukan sekadar sarjana teologi tetapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu yang lain: kedokteran, antropologi, linguistik, hukum dan berbagai ilmu lain yang berguna untuk perkembangan ilmu dan meretas jalan-jalan baru di dunia baru (Hindia) sambil tetap melakukan penanaman Kekristenan.
Beberapa contoh kecil, bagaimana Kekristenan Calvinis di Hindia bisa menjalani kehidupannya selama kurang lebih duaratus tahun yang pertama, dan bisa hidup dengan ‘biasa-biasa saja’ meski berbeda dengan ‘kebiasaan’ atau tradisi yang berlangsung di negeri asal. Para pendeta Belanda di Hindia, tidak berbeda dengan para pejabat VOC golongan menengah lainnya dalam hal kepemilikan budak. Hal ini tidak terbayangkan bisa mereka lakukan di Belanda, namun di Semarang atau Batavia, hal ini merupakan sesuatu yang biasa saja. Kita bisa bertanya lalu bagaimana dengan teologi tentang manusia dari para pendeta Calvinis pada abad ke-17 dan ke-18 di Hindia itu?
Masih soal budak. Ketika seorang budak masuk Kristen, maka secara sosial budak Kristen ini memiliki beberapa hak istimewa yang membedakan mereka dengan budak lainnya. Para tuan/nyonya Belanda memang diharapkan untuk mendorong para budak ini mengikuti katekisasi yang diselenggarakan oleh meester keliling¸ agar mereka bisa dibaptis dan masuk gereja. Budak yang masuk Kristen, memang tidak otomatis diberikan kemerdekaannya, namun mereka memiliki beberapa hak sipil yang tidak dimiliki oleh budak yang bukan Kristen. Mereka sebagai orang Kristen berhak mendapat pemberkatan nikah di gereja, dan dicatat secara resmi dalam catatan kependudukan. Bila mereka meninggal mereka juga akan menerima penguburan Kristen. Hal-hal ini mengingatkan kita bahwa menjadi Kristen sebelum periode Pekabaran Injil pada abad ke-19, sesungguhnya merupakan proses budaya. Orang-orang non-Kristen yang menjadi Kristen ‘meninggalkan’ adat atau agama lamanya, dan memasuki peradaban Kristen atau Barat.


Pada masa ketika para penginjil pertama utusan badan-badan misi swadaya (artinya bukan dibentuk oleh gereja atau oleh salah satu negara Eropa) menapakkan kakinya di Nusantara, situasi sudah berbeda secara mental dan politis. Nusantara setelah beberapa kali mengalami peralihan kekuasaan, akhirnya berada di tangan kekuasaan administratif Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Pemihakan dan hak-hak istimewa terhadap Kekristenan menurut ‘agama gereformeerd’ sudah bergeser. Perkembangan pemisahan gereja dan negara di Belanda membuat kebijakan pemerintah secara umum bersikap netral terhadap kelompok Kristen manapun untuk melakukan kegiatan pewartaan Injil di Nusantara. Di Belanda perkembangan gereja gereformeerd yang mengalami perpecahan, pada kurun waktu yang sama telah lahir juga berbagai gerakan kesalehan, gerakan swadaya yang membentuk kelompoknya sendiri-sendiri dan mengutus para penginjil ke Nusantara.
Berikut ini beberapa contoh warisan yang gereja-gereja kita warisi dari periode ini.
Pemahaman mengenai gereja.
• Sejak akhir abad ke-18 hak-hak istimewa gereja Hervormd telah dikurangi. Kebebasan beragama dijamin. Ada departemen khusus yang menangani urusan gereja ini, termasuk mengorganisasi ulang gereja. Di zaman yang baru ini, gereja, seperti juga negara Belanda yang berubah dari Republik menjadi negara kesatuan di dalam jajahan Prancis (di Nusantara diwakili oleh Daendels), setelah melalui masa di bawah kekuasaan Inggris (diwakili oleh Raffles), Belanda berlanjut sebagai negara kesatuan yang sentralistik pada masa Kerajaan. Gereja yang tadinya tidak jauh berbeda dengan sistem kenegaraan yang lama, yaitu masing-masing jemaat setempat mengurus dirinya sendiri, kini diseragamkan demi semangat kesatuan. Sistem presbiterial-sinodal disingkirkan. Segala sesuatu ditentukan oleh pusat, dalam hal ini di bawah departemen ibadah.
• Gereja Hervormd tidak lagi dipimpin oleh perwakilan atau perutusan jemaat-jemaat atau klasis yang dipilih melalui mekanisme persidangan, melainkan oleh orang-orang yang ditentukan oleh pemerintah. Mereka disebut sebagai pengurus (bestuur). Sementara itu gereja-gereja Gereformeerd (yang memisahkan diri dari satu gereja Belanda yang lebih tua, yang kemudian dikenal sebagai gereja Hervormd) berusaha untuk memelihara semangat Tata Gereja Dordrecht, mempertahankan kewibawaan dan peran klasis (bukan pemerintah) dalam hal urusan pendeta maupun kehidupan jemaat-jemaat.
Hubungan dengan pemerintah.
• Perbedaan pendekatan organisasi ini juga mewarnai pengelolaan badan-badan yang bergerak dalam bidang penginjilan dan pembinaan bagi Kekristenan yang sedang bertumbuh di Nusantara. De Jonge mengkritik pendekatan top-down dari gereja Hervormd yang lebih mengutamakan efisiensi, dan memperkerjakan kaum profesional, yang dinilainya mengurangi idealisme presbiterial-sinodal. Ia melihat pendekatan yang digunakan gereja Gereformeerd yang menggunakan perutusan dari klasis-klasis dalam pembentukan badan-badan tersebut, lebih mencerminkan semangat presbiterial-sinodal.
• Di Nusantara, gereja terutama Indische Kerk (GPI) mengikuti pola yang dialami oleh gereja Hervormd. Dan akibatnya gereja diatur secara sentralistik dari Batavia (sekarang Jakarta). Pendeta-pendeta IK diangkat oleh pemerintah, dan bukan oleh gereja. Hal ini sudah menjauhi pemahaman presbiterial-sinodal. Dalam hal ini situasi pada masa VOC lebih baik. Pada masa itu para pendeta yang diutus ke Nusantara, semuanya adalah pendeta yang ditahbiskan oleh klasis-klasis di Belanda. Bahkan bukan cuma para pendeta yang diutus oleh klasis-klasis, para penghibur orang sakit (krankbezoeker) juga banyak yang dikirim oleh klasis-klasis.
Sikap terhadap agama lain.
• Dari empat buku yang saya gunakan untuk mempersiapkan tulisan ini, hanya dua yang membicarakan mengenai sikap Kekristenan (Calvinis) terhadap Islam di Nusantara. Pada periode VOC – sikap umum terhadap Islam adalah menjaga jarak, untuk tidak saling mempengaruhi, dan seminimal mungkin berhubungan. Dalam studi saya atas situasi di Jawa menjelang akhir abad ke-18, para guru Kristen yang hendak keluar dari bagian kota Semarang yang dikuasai oleh VOC harus membawa surat jalan yang disetujui oleh Gubernur. Hal ini memperlihatkan betapa protektifnya pemerintah VOC terhadap personil gereja. Ruang gerak para pendeta VOC juga sama terbatasnya, tidak terbayangkan mereka bisa keluar masuk dengan bebas ke kampung-kampung di Jawa pada masa itu, sekalipun periode ini merupakan masa tenang yang relatif cukup panjang (sesudah Perjanjian Giyanti dan sebelum Perang Jawa pada abad ke-19 meletus di bawah kepemimpian Dipanegara).
• Niemeijer memperlihatkan dalam studinya bahwa Muslim di Batavia pada abad ke-17 relatif lebih bebas daripada kaum Katolik di tengah-tengah kota kaum Calvinis ini. Lebih menarik lagi, ternyata Islam tidak dilihat sebagai sebuah ancaman atau bahaya di Batavia. Patut diingat bahwa baik VOC dan kaum Muslim yang banyak berdatangan ke Batavia memiliki kepentingan yang sama: berdagang. Islam masuk ke Jawa melalui jalur perdagangan. Aspek ini yang sering dilupakan oleh para pengamat hubungan antar agama, bahwa baik Islam maupun Protestan datang ke Nusantara pertama kali dalam rangka kepentingan membangun perdagangan, dan berbeda dengan kehadiran Portugis (dan Spanyol) Katolik yang memang memiliki ambisi imperialisme (memperluas wilayah kerajaan).
• Van Boetzelaer memperlihatkan bahwa pada awal abad ke-20, sebagai konsekwensi dari sikap negara yang netral terhadap agama, maka bila satu agama menerima subsidi dari negara, semua agama yang ada juga akan menerimanya. Dalam beberapa kesempatan gereja Hervormd, menyatakan keberatan atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak memihak ini. Dalam hal ini tampak pemerintah sudah memperlihatkan kesadaran akan kenyatakan pluralitas yang ada, sementara gereja masih ‘terpenjara’ dengan bayang-bayang masa lalu ‘hubungan harmonis’antara pemerintah (yang ‘memelihara’) gereja.

Secara sadar saya memilih contoh-contoh di atas, yang menyangkut hubungan gereja dengan pihak luar. Karena hal ini berkait dengan perkembangan berikutnya pada gereja-gereja kita setelah memasuki masa kemerdekaan Indonesia. Teologi gereja yang mengabaikan perkembangan historis hanya akan membuat gereja tidak berdaya terhadap perkembangan yang terjadi. Sebagaimana halnya gereja yang ‘merasa’ menjadi anak tiri pemerintah Hindia Belanda yang berusaha mengayomi agama-agama yang ada di Nusantara.
Proses pembentukan Kekristenan di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan di masa lampau dan teologi yang dihasilkan di masa lampau. Teologi yang tidak kritis, dan berwawasan sempit akan ‘mengurung’ gereja di dalam masa lampau yang dikiranya ideal.
Pada perayaan 500 tahun Calvin ini banyak orang yang mengagungkan sistem pemerintahan gereja Calvinis yang dianggap cikal-bakal dari sistem demokrasi pada negara-negara modern. Padahal Calvin hanya memberikan isi teologis kepada sistem yang sudah berlangsung di negara-negara kota di Swiss sebelum ia sendiri mulai bekerja di Geneva, yaitu sistem yang tidak mempercayai rohaniwan seorang diri mengatur gereja. Ia memberi makna teologis kepada pekerjaan diakonat yang merupakan organ dari pemerintah kota yang berusaha mengatur, mengawasi dan mengatasi kemiskinan. Ia sendiri pada awalnya berpendapat hanya perlu dua jabatan gerejawi: penatua yang mengawasi dan mengatur gereja, dan diaken. Bahkan pada masa hidupnya sendiri, ternyata teologi Calvin tidak beku.
Tradisi-tradisi Calvinis yang dikembangkan oleh murid-murid Calvin justru sangat menghargai kepelbagaian dan kepekaan membaca pergumulan kontekstual serta aktual. Kalau ada satu hal yang bisa dilihat sebagai unsur yang tetap dalam tradisi Calvinis, adalah kepemimpinan yang dijalankan bersama (presbiterial-sinodal). Ketika hal ini diambil atau dikecilkan, gereja kehilangan dasar kontekstualnya, karena yang muncul kemudian adalah keseragaman dan kekuatan sentralistik yang bisa melumpuhkan daya hidup jemaat-jemaat setempat.
Menghadapi kemiskinan, hubungan antar-agama, misalnya merupakan pergumulan setempat yang tidak perlu diseragamkan dalam segala hal. Teologi-teologi lokal akan memperkaya gereja berdasarkan pergumulan masing-masing tempat.
Bagaimana menghargai dan mengaktualkan warisan teologi Calvinis bagi Kekristenan masa kini?
Tentu saja ini pekerjaan yang tidak mudah. Puluhan bahkan ratusan disertasi bisa dibuat untuk membahas persoalan ini. Baiklah saya menyebut beberapa saja untuk memperlihatkan arah yang bisa kita tempuh. Secara singkat dan cepat saya menyebut beberapa saja.
Soal kehadiran Kekristenan di dalam masyarakat. Yang dimaksud di sini bukanlah berpolitik praktis, melainkan untuk berdiri bersama dalam berbagai keprihatinan masyarakat. Kaum Calvinis pernah mempelopori membuang praktek mengemis dan berderma dan mendorong orang-orang miskin untuk hidup layak, dan pada saat yang sama mendorong masyarakat yang kehidupannya lebih baik untuk menopang kehidupan keluarga-keluarga miskin. Teologi keseimbangan dan penciptaan kesejahteraan merupakan tema penting dalam kehidupan kaum Calvinis Eropa.
Berikutnya adalah soal kehadiran Kekristenan di dalam dunia pendidikan modern. Ketika dunia pendidikan menjadi semakin komersial dan mekanistik untuk melayani kepentingan dunia global dan kapitalistik, saat ini dibutuhkan suatu visi pendidikan humanistik. Trend pendidikan sekarang ini semakin men-dehumanisasi manusia, pendidikan Kristiani harus melawan trend ini. Tradisi pendidikan Calvinis mendorong terbentuknya semangat pendidikan umum, pendidikan untuk semua, sehingga orang dapat berkembang sebagai individu yang bermartabat. Pengaruh Calvinisme tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dunia pendidikan umum di Eropa, dan kemudian berkembang luas keberbagai tempat. Pendidikan terutama untuk membangun manusia dan peradaban, suatu visi yang kuat menguasai Calvin dan murid-muridnya sebagai hasil dari gerakan Humanisme.
Yang terakhir dari saya adalah soal kehadiran Kekristenan dalam kenyataan kemajemukan di Indonesia. Sebagai orang Kristen kita perlu menentukan sikap dan pemihakan kepada minoritas tertindas. Dan Kekristenan di Indonesia juga merupakan minoritas dalam hal jumlah, oleh karena itu kita perlu mendorong warga bangsa dan warga gereja untuk mempedulikan keprihatian aktual bangsa dan bukan menangisi soal pembatasan izin mendirikan rumah ibadah (misalnya). Rumah ibadah bukanlah hal terpenting dalam tradisi Calvinis.
Bandung, 24 Agustus 2009
Pdt. Yusak Soleiman
dosen biasa STT Jakarta
untuk Peringatan 500 tahun Yohanes Calvin
oleh Majelis Sinode dan para Pendeta GPIB

LAMPIRAN
TABEL KRONOLOGIS SEJAK KELAHIRAN MARTIN LUTHER (1483) SAMPAI PENETAPAN TATA GEREJA NEDERLANDSE HERVORMDE KERK DI BELANDA DAN KEMANDIRIAN GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA (GPI) SECARA FINANSIAL DI INDONESIA (1950)
Tahun P e r i s t i w a
1483 Martin Luther lahir, 10 November
1484 Ulrich Zwingli lahir, 1 Januari
1491 Martin Bucer lahir, 11 November
1498 Ulrich Zwingli memulai studinya di Universitas Wina
1499 Yohanes a Lasco lahir, 8 Januari
1501 Luther memulai studinya di Universitas Erfurt
1509 John Calvin lahir, 10 Juli
1517 95 Tesis Luther di Wittenberg
1521 Luther diekskomunikasi
1530 Konfesi Augsburg
1531 Ulrich Zwingli wafat, 11 Oktober
1536 Institutio Calvin edisi pertama diterbitkan, Maret
1536 Calvin dipanggil ke Jenewa, Juli
1538 Calvin diusir dari Jenewa
1539 Colloquy di Marburg, Luther dan Zwingli menyepakati empatbelas pasal, pada pasal yang kelima belas mereka menyepakati lima butir dan tidak berhasil mencapai kesepakatan pada butir yang keenam, mengenai kehadiran Kristus pada saat sakramen Perjamuan Kudus
1539 Edisi kedua dari Institutio
1541 Calvin kembali ke Jenewa, September
1541 Colloquy di Regensburg (Ratisbon)
1542 Katekismus Geneva
1543 Institutio edisi 1543
1544 Konsistori (Majelis Gereja) di Emden, Frisia Timur dibentuk oleh humanis Yohanes a Lasco-sahabat dekat Erasmus Rotterdam ( cikal bakal dari Protestantisme yang berpengaruh di Belanda)
1545 Konsili Trente dibuka 13 Desember
1546 Luther meninggal, 18 Februari
1551 Periode kedua Konsili Trente
1551 Martin Bucer wafat, 28 Februari di Cambridge
1554 Katekisasi Emden disusun oleh Yohanes a Lasco
1557 Fungsi dan jabatan Diaken muncul untuk pertama kalinya di Emden (13 tahun setelah terbentuknya konsistori: pendeta dan penatua)
1557 Kaum bangsawan Skolandia atas anjuran John Knox (1513-72) menandatangani Perjanjian (Covenant) yang akan menjadi tonggak penting dalam Refomasi Skotlandia
1559 Pengakuan Iman Gereja Prancis = Confessio Gallica Discipline ecclésiastique, Tata gereja Prancis; Institutio edisi terakhir yang besarnya 5 kali lipat edisi pertama (1536)
1560 Yohanes a Lasco wafat
1561 Pengakuan Iman Gereja Belanda = Confessio Belgica (disusun oleh Guy de Brès: dalam bahasa Prancis) yang diinspirasikan oleh Pengakuan iman gereja Prancis (1559)
1561 Peraturan Gereja Geneva
1562 Pembantaian di Vassey (kaum Huguenots – orang-orang Protestan Prancis – yang menjadi korbannya); awal Perang-perang agama di Prancis
1563 Akhir Konsili Trente
1563 Katekismus Heildelberg rampung disusun (oleh Ursinus [murid Melanchthon] dan Olivianus [murid dari Calvin])
1564 Calvin meninggal, 27 Mei
1566 Pemberontakan orang-orang Belanda di bawah pimpinan Wiliam dari Oranje terhadap Spanyol (Philip II), berlangsung sampai dengan 1578 dengan kemenangan Belanda
1571 Sinode resmi pertama gereja-gereja Protestan Belanda menghasilkan Tata gereja Belanda (sinode di Emden) yaitu Gereja Gereformeerd (berdasarkan Tata gereja Prancis, 1559); penetapan penggunaan Katekismus Heildelberg (diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Dathenus) dan Katekismus Geneva (yang digunakan oleh komunitas berbahasa Prancis).
1572 Gereja Gereformeerd mulai berfungsi : sinode pertama di Edam
1573 Sinode provinsi Noord-Holland kedua di Alkmaar
1575 Universitas Leiden berdiri disusul oleh Franeker (1585), Groningen (1674), Utrecht (1636) dan Herderwijk (1648), dan Leiden menjadi pusat pendidikan teologi Calvinisme yang penting di Belanda. Pada abad ke-17 para teolog Belanda menempati posisi yang penting dalam tradisi Calvinisme sedunia.
1578 Sinode nasional pertama gereja-gereja Belanda di Dordrecht
1581 Sinode nasional kedua di Middelburg ; sudah ada enam regional-klasis dari sinode provinsi Noord-Holland: Haarlem, Amsterdam, Alkmaar, Hoorn, Enkhuizen dan Edam; dan delapan regional-klasis dari sinode provinsi Zuid-Holland; dan empat regional-klasis dari sinode provinsi Zeeland: termasuk klasis terbesar di Republik  klasis pulau Walcheren; tiga klasis dari sinode Utrecht; tiga klasis dari sinode Friesland; lima klasis dari Overijssel (dengan tiga kota utamanya: Deventer, Zwolle dan Kampen); tiga klasis dari Drenthe.
1586 Sinode nasional ketiga di Den Haag
1588 Republik Tujuh Negeri Belanda yang Dipersatukan dipimpin oleh Staten-Generaal (Dewan Umum wakil dari 7 propinsi)
1596 Kapal-kapal Belanda mendarat di Banten
1598 Edik Nantes (13 April), mengakhiri perang-perang agama di Prancis; memberikan kaum Huguenots hak-hak sipil dan keagamaan. Hal ini kemudian dilanggar lagi oleh keluarga kerajaan sehingga terjadilah perang agama di Prancis. Penindasan yang terus-menerus menyebabkan kaum Huguenots mengungsi ke Inggris, Jerman dan Amerika.
1602 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) berdiri: didukung oleh kota-kota Amsterdam, Middelburg, Rotterdam, Delft, Hoorn dan Enkhuizen
1605 Ibadah komunitas Protestan pertama di Fort Victoria, Ambon. (27 Februari)  dirayakan pada 27 Februari 2005 sebagai 400 tahun Protestantisme di Nusantara
1618 Awal Perang 30 tahun antara kaum Katolik dan Protestan, terjadi dalam beberapa gelombang (Bohemia, Denmark, Swedia dan Prancis). Pada 1648 ketika perang berakhir kerajaan Romawi Suci mendekati keruntuhan totalnya dan orang-orang di Eropa umumnya memutuskan untuk selanjutnya tidak lagi terjadi perang demi agama.
1618 Sinode nasional keempat di Dordrecht
1619 Tata gereja Belanda (Dordrecht) diperbarui; Lima pasal (yang sering diringkas oleh kaum ultra-ortodoks-Calvinis pada abad ke-19/ke-20 sebagai TULIP ) dirumuskan, untuk melawan kaum Remonstran (pendukung Jacobus Arminius [1650-1609])  gereja Gereformeerd terpecah, muncul Remonstrantse Broederschap; Sinode ini merupakan sinode nasional terakhir sebelum abad ke-20 (sesudah Dordrecht pemerintah melarang diadakannya lagi sinode-sinode nasional)
1621 Majelis jemaat pertama di ‘Indonesia’, terbentuk di Batavia; disusul kemudian 1622 di Banda, 1625 di Ambon, 1626 di Ternate; hal ini terjadi pada masa kekuasaan Gubernur Jendral J.P. Coen; Klasis Walcheren (Zeeland) mendapat tugas mengurus pengutusan/pengiriman pendeta dan personil gereja lainnya ke seberang lautan
1622 Setelah Jayakarta direbut (1619) dan diubah namanya menjadi Batavia, VOC yang menerima hak sebagai pemerintah yang berdaulat harus melakukan kewajiban pemerintah Kristen: melindungi gereja dan memajukan agama Gereformeerd (ditegaskan dalam octrooi [surat kuasa] yang kedua untuk VOC, yang dikeluarkan pada tahun ini dan juga ditegaskan di dalam Pengakuan Iman Belanda). VOC melakukan tindakan drastis: misionaris Katolik (Portugis dan Spanyol) diusir; orang-orang pribumi Kristen (Katolik) diwajibkan menjadi anggota gereja Gereformeerd.
1624 Tata Gereja pertama gereja Gereformeerd di ‘Indonesia’ diberlakukan; hal ini terjadi pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Pieter de Carpentier
1633 Gereja berbahasa Melayu Batavia mendapatkan gedungnya sendiri (dari bambu; dan pada 1678 gedung berbatu)
1636 Klasis Amsterdam mendapat tugas mengurus pengutusan/pengiriman pendeta dan personil gereja lainnya ke seberang lautan; Noord- & Zuid-Hollandse Sinode mengurusi personil di Hindia
1643 Tata Gereja jemaat Batavia (Tata Gereja yang kedua ini berlaku sampai dengan pembubaran VOC, 1799); hal ini terjadi pada masa berkuasanya Gubernur Jendral Van Diemen
1646 Pengakuan Iman Westminster (hasil Westminster Assembly, 1643-52)
1655 Pengakuan Iman Waldensia (berdasarkan Confessio Gallica, 1559)
1658 Deklarasi Savoy (London) mengenai ajaran dan tata gereja bagi kaum Kongregasionalis
1660 Restauration dari Kerajaan Inggris, gereja Anglican menganut struktur High Church, kaum Presbyterian dan Congregasionalist menjadi dissenter atau non-conformist
1673 Tata Gereja Ambon diberlakukan
1689 Act of Toleration di Inggris menjamin kebebasan untuk berbeda pendapat, namun kaum Presbyterian dan Congregasionalist tetap berada di luar gereja Anglican.
1695 Gereja (berbahasa) Portugis  Gereja Sion dibuka
1747 Gereja Tugu dibuka
1753 Majelis Jemaat GK Semarang terbentuk (kembali) dan berfungsi (dengan hadirnya pendeta yang menetap)
1780 – 1784 Perang Inggris dan Belanda (Anglo-Dutch war)
1795 VOC dinasionalisasikan
1797 Perkumpulan Penginjil Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschap = NZG) berdiri di Belanda
1798 Pemisahan antara gereja dan negara di Belanda; tidak ada lagi hak istimewa bagi gereja Gereformeerd, semua gereja diperlakukan sama.
1799 VOC dibubarkan
1808 Sesuai dengan cita-cita revolusi Prancis diumumkan kebebasan beragama dan negara bersikap netral terhadap agama; Belanda sedang diduduki oleh Prancis; Daendels (pro-Napoleon) dikirim ke Hindia
1813 Negeri Belanda menjadi Kerajaan
1814 Perkumpulan Alkitab Belanda (Nederlandse Bijbelgenootschap = NBG) berdiri di Belanda
1815 Undang-undang Dasar Belanda memberi kuasa pada Raja untuk menentukan perkembangan daerah jajahan (termasuk gereja yang ada).
1816 Raja Belanda, Willem I, menandatangani ‘Peraturan umum untuk pemerintahan Gereja Hervormd’ (Algemeen Reglement van Bestuur der Hervomde Kerk in het Koninkrijk der Nederlanden) sejak saat ini berubahlah nama Gereformeerde Kerk menjadi Nederlandse Hervormde Kerk [gereformeerd  yang direformasikan; hervormd  dibentuk kembali]; Algemeen Reglement ini menggantikan Kerk Orde (Tata gereja Dordrecht), susunan organisasi gereja menjadi hirarkis
1820 Haagse Commissie (Panitia untuk perkara-perkara Gereja-gereja Protestan di Hindia Belanda Timur dan Barat) ditunjuk oleh pemerintah untuk mengurus gereja-gereja di tanah jajahan
1820 Perkumpulan literatur keagamaan Belanda (Nederlands Godsdienstig Tractaat Genootschap) berdiri di Belanda
1834 Afscheiding, pemisahan jemaat-jemaat Hervormd menjadi Christelijk Gereformeerde Kerk dan jemaat-jemaat mandiri lainnya (dimulai di Ulrum wilayah Groningen, 14 Oktober); gereja-gereja yang memisahkan diri ini kembali ke idealisme Tata Gereja Dordrecht
1835 Gereja Hervormd di Hindia Belanda dan gereja-gereja Protestan lainnya digabungkan menjadi Protestanse Indische Kerk (Gereja Protestan Hindia = Gereja Protestan di Hindia Belanda = GPI); 1840 dibuatlah peraturan gerejanya; 1844 mulai diberlakukan  semua orang Protestan dipersatukan menjadi anggota gereja ini di bawah satu badan pengurus (kerkbestuur).
1846 Berdirinya Evangelical Alliance di London, yaitu persekutuan orang-orang Protestan, salah satu perintis gerakan Keesaan Modern
1848 UUD 1848 di Belanda memberi hak pada parlemen untuk mengontrol pemerintah (juga di negara jajahan), akibatnya GPI secara resmi tidak boleh lagi mengabarkan Injil; tugas gereja dibatasi hanya sekadar pemeliharaan rohani bagi mereka yang sudah menjadi anggota.
1852 Setelah Kerajaan Belanda menjadi monarki konstitusional (1848), pengawasan atas gereja berakhir dan ditetapkan Peraturan Umum yang baru (1853)
1875 Jemaat-jemaat pribumi hasil zending Belanda diserahkan kepada GPI
1875 Berdirinya World Alliance of Reformed Churches (WARC)
1886 Doleantie, terjadi pemisahan dari gereja Hervormd menjadi jemaat-jemaat yang bersedih (= dolere)
1892 Sebagian jemaat Afscheiding bergabung dengan jemaat Doleantie menjadi Gereformeerde Kerken in Nederland
1910 Konperensi pekabaran Injil di Edinburgh, momentum penting dari berbagai gerakan dan organisasi keesaan sedunia
1928 Konperensi pekabaran Injil di Yerusalem (IMC I)
1933 Rapat besar GPI di Batavia untuk merancang Tata gereja GPI mandiri yang tidak lagi merupakan lembaga pemerintah
1934 Sinode Gereja Minahasa diresmikan
1935 Sinode Gereja Maluku diresmikan
1936 Pemisahan gereja dan negara secara administratif (GPI)
1945 Sinode nasional gereja Hervomd setelah 300 tahun (terakhir Dordrecht, 1619) yang menugaskan penyusunan Tata Gereja yang baru (selesai 1950; diberlakukan 1951)
1947 Sinode Gereja Timor diresmikan
1948 Tata Gereja GPI
1950 Tata Gereja Hervomd diperbarui dan mengembalikan semangat presbiterial-sinodal yang telah hilang sejak Peraturan Umum 1816
1950 GPI mulai membiayai dirinya sendiri dan terlepas dari bantuan keuangan dari negara (Belanda)

JOHANES CALVIN DAN GERAKAN KARISMATIK

Johanes Calvin dan Gerakan Karismatik
Rebecca Young
25 Agustus 2009

I. Latar Belakang Gerakan Karismatik
Istilah “Gerakan Karismatik” dipakai untuk menggambarkan kejadian dalam agama yang terjadi pada 50 tahun terakhir ini. Kata karismatik berasal dari sebuah kata Yunani charis yang berarti “kasih karunia”. Kata charis digunakan dalam Alkitab untuk menjelaskan mengenai berbagai pengalaman supranatural (khususnya dalam 1 Korintus 12-14). Kitab Kisah Para Rasul mencatat manifestasi Roh Kudus seperti kesembuhan ilahi, mujizat, dan glossolalia yang terjadi pada masa gereja mula-mula pada awal abad pertama. Karismatik merupakan sebuah istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan kaum Kristiani yang percaya bahwa manifestasi Roh Kudus tersebut masih bisa terjadi dan seharusnya dipraktekkan sebagai pengalaman pribadi setiap orang percaya pada masa sekarang ini. Gerakan Karismatik dalam berbagai hal memiliki ciri-ciri khas Pentakosta, khususnya dalam hal karunia-karunia Roh seperti tercatat dalam Alkitab (bahasa lidah/bahasa roh/glossolalia, nubuat, dan lain-lain). Gerakan ini pada awalnya bersifat antardenominasi di dalam gereja-gereja aras utama Protestan dan Katolik. Banyak kaum Karismatik pada akhirnya kemudian membentuk denominasi terpisah dalam gereja-gereja baru.
Sebetulnya cenderung seperti Gerakan Karismatik ini terjadi dalam tiap agama di seluruh dunia sebagai akibat globalisasi yang diikuti kerusakan dan kehancuran etika dan moral-moral dasar. Seperti yang sering terjadi selama sejarah manusia, kalau seseorang atau suatu kelompok mulai merasa kehilangan keyakinan, mereka akan berusaha untuk kembali ke dasar kepercayaan mereka dengan harapan bahwa kalau lebih menaati peraturan agama, mereka akan mengakibatkan pembaharuan. Dari segi psikologis, cendurung ini juga adalah upaya untuk mengontrol/mengatur lingkungan seseorang dalam keadaan di mana ia mengalami kehilangan kontrol, seperti diakibatkan oleh globalisasi, kepindahan penduduk dari daerah pelosok ke kota, kekurangan kekuatan adat-istiadat, dan sebagainya.
Abad ke-XX adalah zaman di mana perkembangan teknologi terjadi secara paling cepat: misalnya, pada tahun 1905 dua orang namanya Orville dan Wilbur Wright menerbang dengan pesawat di Kitty Hawk, North Carolina, Amerika Serikat, selama 59 detik sejauh 260 meter; dalam waktu cuma 64 tahun kemudian, Neil Armstrong dan Buzz Aldrin menginjak bulan. Abad ke-XX juga terkenal sebagai abad di mana ada banyak perkembangan dalam bidang medis: seperti penemuan vaksinasi untuk beragam penyakit; penyakit cacar, penyakit lumpuh dan banyak penyakit yang menularyang sekarang hampir dihapuskan dari dunia. Tetapi pada abad yang sama, perkembangan teknologi militer, khusus untuk senjata canggi, mengakibatkan jumlah orang tewas dalam perang-perang pada abad ke-XX lebih besar daripada semua perang yang pernah terjadi selama sejarah manusia sebelum abad tersebut. Jumlahnya adalah kira-kira 180 juta orang, yang dibunuh dalam perang, pembunuhan besar-besaran, bom bunuh diri, kelaparan yang diakibatkan oleh hal-hal politik (bukan bencana alam) dan lain-lain.
Karena perkembangan tersebut, layak ditanyakan apakah keadaan manusia makin lama makin baik atau makin jahat. Seperti yang disebut oleh Omar Bradley, seorang komandan di Perang Dunia Kedua, kita sebagai umat manusia menjadi raksasa teknologi akan tetapi kerdil etika.Pada umumnya respons dari manusia terhadap kenyataan yang mengerikan ini terdiri dari dua bagian: satu bagian yang menjadi lebih sekular, kehilangan iman pada Allah, tekanan pada upaya manusia untuk menyelamatkan diri dengan kemampuan sendiri, dan fokus pada kemungkinan untuk maju atau menjadi berhasil dalam saat ini dan di sini daripada di masa depan atau di tempat lain, yaitu di sorga. Bagian yang lain menjadi lebih konservatif, mundur ke apa yang dianggap sebagai hal-hal dasar dalam agama mereka, atau dalam bahasa Inggris: “back to basics”. Hal ini sedang terjadi dalam tiap agama pada zaman ini; kita melihat contoh dalam agama Islam di mana ada gerakan konservativ bahkan ekstrim. Dalam agama Kristen hal ini juga sangat kelihatan.
Coba kita membayangkan abad ke-XX sebagai sungai dengan arus yang kuat sekali: sebagian dari manusia dibawa oleh arus itu. Mereka ikut sertadalam perkembangan baru dan merasa bahwa arus itu akan membawa mereka kepada tujuan yang lebih bagus, dibandingkan dengan orang lain yang memegang batu-batu di tepi sungai; makin kuat arus sungai, makin erat pegangan mereka supaya tidak dibawa ke tujuan yang di luar kontrol mereka. Dalam contoh ini kita bisa melihat berapa hal yang terjadi: yang pertama, makin lama makin jauh jarak antara dua kelompok ini; dan itu yang sedang terjadi antara gerakan fundamentalis/karismatik dan gereja-gereja arus-utama pada saat ini.
Waktu zaman reformasi, keadaan dalam Gereja Kristen Romawi mirip dengan yang terjadi sekarang: ada banyak orang yang melihat bahwa dunia ini penuh dengan dosa, kekurangan etika, korupsi, di dalam gereja pun, sampai Martin Luther diilhami untuk menulis 93 theses, satu tindakan yang mengakibatkan gerakan Reformasi itu, yang juga terdiri dari “back to basics”, yaitu kembali ke Alkitab, ke iman dan ke kasih karunia Allah. Kemudian Calvin sebagai generasi kedua (Calvin baru lahir 25 tahun sesudah Luther) melanjutkan apa dimulai oleh Luther dan para Reformator lain, dengan “membersihkan” gereja, baik secara harafiah maupun simbolis, supaya kembali ke keadaan seperti gereja mula-mula: semua ikon dihapuskan, musik yang diijinkan dalam gereja hanya mazmur, kembali ke bahasa asli untuk menerjemahkan Alkitab ke bahasa daerah, dan lain sebagainya.
Gerakan Karismatik Pada Zaman Ini
Sebagian dari anggota Gerakan Karismatik lebih suka memakai “pembaharuan karismatik”sebagai nama untuk kelompok mereka oleh karena berapa hal seperti berikut: (1) ini bukan “gerakan” dari segi semacam upaya teratur dengan tujuan-tujuan tertentu; (2) salah satu ciri khas gerakan ini adalah pembaharuan karismata alkitabiah; jadi nama yang paling tepat adalah pembaharuan karismatik. Tetapi juga ada bagian dalam gerakan ini yang setuju dengan istilah “gerakan” oleh karena mereka berpendapat bahwa kejadian ini lebih daripada pembaharuan saja dan apalagi yang bergerak bukan hanya manusia akan tetapi Roh Kudus yang sedang bergerak untuk memberi beragam karismata kepada umatnya.
Gerakan Karismatik muncul pertama kali di dalam gereja arus-utama pada dekade 1950-an, kemudan diperkuatkan di Amerika Serikat pada tahun 1960 di gereja Anglikan (“Epikopal”) di California. Sejak itu gerekan tersebut menyebar dan berkembang secara terus-menerus dalam banyak gereja arus-utama, seperti Luteran sama Presbyterian, kemudian di Gereja Katolik Romawi (tahun 1967) dan di Gereja Ortodox Yahuni (1971). Pada tahun 1973 adalah Sidang Karismatik Ortodox pertama yang diselenggarakan di AS, dan sekarang tiap tahun ada banyak sidang baik dalam negeri maupun internasional di seluruh dunia.
Sebagai garis besar tentang Gerakan Karismatik dalam gereja, ada tujuh ciri khas: (1) kebangkitan kembali semangat dan rasa segar dalam iman Kristen; (2) pembaharuan komunitas orang percaya sebagai persekutuan (koinonia) Roh Kudus; (3) perwujudan beragam karunia rohani yang sejajar dengan yang ditunjukkan dalam 1 Kor 12-14; (4) pengalaman pembaptisan Roh Kudus, termasuk bahasa Roh, sebagai pembaharuan rohani yang radikal; (5) kemunculan persatuan yang tidak terbatas oleh denominasi-denominasi; (6) semangat baru untuk kesaksian tentang Kabar Baik Yesus Kristus; dan (7) kebangkitan kembali pandangan eskatologis.
Teologi Calvin / Teologi Aliran Kalvinis dan Gerakan Karismatik
Ada istilah dalam bahasa Inggris untuk jemaat-jemaat Aliran Kalvinis (dan gereja arus-utama pada umumnya) berdasarkan sikap kita waktu beribadah, yaitu “Frozen Chosen”, atau Jemaat Beku, karena kita duduk diam tanpa bergerak, tidak bertepuk tangan, dan menanyikan nyanyiannyasecara pelan dan serius. (Mungkin ini juga kenapa kata “gerakan” cocok untuk kelompok ini; kita tidak bergerak, mereka bergerak terus).
Jadi kalau kita melihat ciri pertama dalam daftar di atas, yaitu didapatnya kembali semangat dan rasa segar dalam iman Kristen, ada alasan untuk bersyukur menurut teologi Aliran Kalvinis. Dalam tulisan Johanes Calvin, terutama di dalam bukunya yang terkenal, Institutes of the Christian Religion, sering ditekankan kepentingan pengalaman yang hidup dan nyata, dan yang penuh semangat. Pengetahuan tentang Tuhan, menurut Calvin, “terdiri dari pengalaman yang nyata daripada dari pemikiran yang abstrak dan sombong”. Calvin juga berpendat, seharusnya yang dibutuhkan adalah konversi kepada Kristus “yang sungguh-sungguh dan dengan penuh hati”. Tiap orang Kristen dipanggil untuk “memuliakan kehadiran Roh Kudus”. Waktu menjelaskan tujuannya dalam kata pengantar buku Institutes tersebut yang penuh dengan bahan-bahan teologis, Calvin tidak memakai istilah summa theologiae (bahasa Latin untuk “ikhtisar teologia”) sesuai dengan para penulis teologilain, akan tetapi yang dipakai adalah istilah summa pietatis (“ikhtisar iman”). Jadi Gerakan Karismatik, meskipun tidak diperkirakan dulu oleh Calvin, tetap menekankan pengalaman yang nyata dan giat, yang sesuai dengan semangat Calvin dan tradisi Aliran Kalvinis.
Salah satu bedanya antara Gerakan Karismatik dan gereja-geraja Aliran Kalvinis pada umumnya adalah, ibadah Gerakan Karismatik lebih aktiv, dengan lebih banyak gerakan termasuk yang angkat tangan waktu berdoa. Meskipun jarang dilakukan sekarang dalam gereja-geraja Kalvinis arus-utuma, sebetulnya Calvin tidak ada keberatan dengan gerakan di dalam ibadah, dengan alasan seperti berikut:
Pasti sikap dalam dirinya lebih penting waktu berdoa, tetapi tanda di luar dengan tubuh, seperti berlutut, membuka topi, dan mengangkat tangan, mempunyai dua guna. Yang pertama adalah supaya seluruh bagian dari tubuh kita menyembah and memuliakan Tuhan; yang kedua, supaya kita dibangkitkan dari keadaan malas dengan bantuan ini. Juga ada guna yang ketiga waktu doa umum yang serius, karena dengan bergerak begitu, anak Tuhan dapat mengakui kesalehannya dan saling membangkitkan rasa hormat terhadap Tuhan. Tetapi juga harus diingatkan,walaupun tindakan mengangkat tangan cocok sebagai tanda keyakinan dan keinginan, kita juga harus menunjukkan kerendahan hati kita dengan berlutut.

Biasanya ada kesan tentang Calvin bahwa teologinya sangat serius, tidak ada tempat untuk emosi, semua harus diatur secara logis dengan pikiran dari kepala daripada perasaan dari hati. Sayangnya kesan atau prasangka itu tentang Calvin sama sekali tidak benar. Hal yang paling penting tentang teologi Calvin adalah kedaulatan Tuhan: Tuhan adalah Tuhan di atas segala-galanya. Jadi Tuhan adalah Tuhan di atas pikiran kita, tetapi juga di atas emosi kita. Dua-duanya adalah anugerah dari Tuhan, jadi menurut Calvin dua-duanya dapat dipakai untuk memuliakan Tuhan, bahkan harus dipakai untuk memuliakan-Nya. Waktu kita menjadi Kristen, yaitu bertobat dan kemudian dibersihkan oleh pembaptisan Roh Kudus, bukan hanya pikiran (pamahaman) dan kehendak kita yang harus dibenarkan dan disucikan, tetapi perasaan kita juga:
Apalagi, kita ditegur untuk mendekati Allah dengan perasaan yang tulus dan benar. Tidak cukup kalau kita cuma mengendalikan kaki kita, tangan kita dan mata kita dari tindakan jahat; seharusnya hati kita mendahului kita dan Allah dilayani dengan perasaan benar. Dan perasaan ini tidak boleh dipaksakan, tetapi harus diakibatkan oleh kasih ikhlas pada Allah.
“Perasaan yang benar” menurut Calvin – dalam bahasa Perancis vraye affection – dapat dikembangkan dalam hati kita dengan fokus pada kayu salib Kristus, pada masa depan, dan pada pemeliharaan Allah. Untuk Calvin, orthopathy(perasaan benar) sangat terkait dengan orthodoxy (ortodoksi) dan kepentingannya dua-duanya sama.
Tentang ciri kedua, yaitu gereja sebagai persekutuan atau koinonia Roh Kudus, hal ini tidak ditekankan oleh Calvin dan tradisi Aliran Kalvinis. Meskipun Calvin mengakui kepentingan pujian dan bersembah bersama-sama, menurut Calvin gereja hanya berada “di manaFirman Tuhan dikhotbahkan dan didengarkan secara benar, dan sakramen-sakramen dirayakansesuai dengan tindakan-tindakan Kristus”. Menurut banyak orang, justru pikiran yang menekankan penyelenggaraan khotbah dan sakraman secara tegasseperti itu yang menyebabkan tekanan yang berat sebelah pada aturan dan perintah.
Menurut Gerakan Karismatik, kalau gereja akan berfungsi secara lengkap harus ada umat yang sedang menghayati koinonia Roh Kudus, bukan hanya yang sedang mendengarkan khotbah dan mengalami perjamuan kudus dan baptisan. Menurut Calvin ada dua tanda gereja yang benar: Firman di khotbahkan dan didengarkan, sakramen-sakramen yang dirayakan; menurut Gerakan Karismatik ada tanda yang ketiga: gereja itu berada di mana pengikut-pengikut Yesus berkumpul untuk pujian, persekutuan dan pelayanan dalam koinonia Roh Kudus. Dalam perkembangan teologi Aliran Kalvinis yang ortodoks, pernah muncul tanda yang ketiga yang disebut disiplin (lihat Leiden Synopsis 40:45), yang dapat dikatakan adalah salah satu sebab mengapa teologi Aliran Kalvinis mengalami kehilangan semangat dan rasa spontan. Teologi menjadi kaku sebagai ortodoksi tanpa kesalehan, apalagi semacam ketakutan pada “pengalaman subyektif” yang mengeringkan teologi Aliran Kalvinis.
Untuk ciri yang ketiga, tentang karunia Roh, Calvin kurang konsisten. Pada mulanya Calvin sangat positif tentang karunia dan pemberian dari Roh Kudus. Contohnya yang ditulisnya, “Sejauh Tuhan menganggap layak bagi kita masing-masing, kita diberi karunia Roh untuk melengkapi yang kurang dalam diri kita sendiri”. Terus, “Ia (Kristus) sudah duduk di atas, memenuhi kita dengan kuasa-Nya biar kita diberi kehidupan rohani, dikuduskan oleh Roh-Nya, untuk menghiasi gereja dengan beragam karunia dari kasih-Nya”.
Kadang-kadang Calvin juga membahas karunia yang luar biasa atau unik. Bahasa roh dibahasnya secara positiv sebagai “karunia yang unik”, dan sama dengan karunia bernubuat sebagai karunia istemewa dari Tuhan. Menurut Calvin, karunia roh dalam Perjanjian Baru mempunyai dua makna: satu untuk berkhotbah dan kedua sebagai “perhiasan” atau mulia yang memuliakan Injil waktu diceritakan. Waktu membahas orang bukan Yahudi di Kaisarea, Calvin menyatakan, “Mereka memuliakan Tuhan dengan banyak bahasa. Bahasa roh diberkan kepada mereka bukan hanya karena dibutuhkan untuk khotbah di antara orang asing yang pakai bahasa lain, tetapi juga sebagai perhiasan dan penghormatan untuk Injil”. Pada umumnya Calvin berbicara secara positiv tentang karismata alkitabiah.
Meskipun begitu, Calvin juga berpendapat bahwa karunia luar biasa ini sudah berhenti dan tidak dapat ditarik kembali. Salah satu sebab untuk itu adalah bahwa Tuhan cuma menyediakan karunia-karunia itu untuk menerangiPekabaran Injil yang baru, seperti berikut:
Tuhan berkenan membagi karunia kelihatan yang indah ini… akan tetapi kekuatan dan tindakan nyata itu sudah dihentikan, karena hanya dapat ditahan sementara. Sangat cocok untuk pekabaran Injil yang pertama dan Kerajaan Kristus yang baru diterangi dan diperbesar oleh keajaiban yang luar biasa dan belum pernah dialami.
Alasan lain untuk penghentian karunia yang luar biasa adalah, penerimanya terlalu cepat salah mengunakan karunia-karunia itu, jadi Tuhan mengambil kembalinya. Calvin juga menulis, “Karunia roh dan hal-hal seperti itu, sudah lama ditiadakan di Gereja… Terlalu banyak orang memakai itu untuk memuliakan diri-sendiri… Jangan heran kalau Tuhan dengan cepat mengambil kembali apa yang sudah diberikan dan tidak mengijinkan karunia-Nya untuk dikorupsi lagi dengan penyalahgunaan yang lebih dalam”. Jadi ada dua kemungkinan, oleh karena karunia tidak dibutuhkan lagi oleh karena pekabaran Injil tidak baru lagi, atau karena penyalahgunaan yang begitu cepat mulai. Tetapi yang penting adalah pada dasarnya itu oleh karena keputusan Tuhan bahwa karunia Roh sama sekali tidak diberikan lagi.
Tetapi ada alasan yang ketiga yang dianjurkan oleh Calvin, yaitu kalau kita mempunyai iman yang lebih kuat dan tidak terlalu malas, karunia and pemberian dari Roh Kudus akan dilimpahkan sekali lagi. Contohnya, Calvin mengacu pada Yohanes 7:38 tentangaliran air hidupsebagai karunia yang dilimpahkan secara terus menerus yang sudah dijanjikan kepada kita. Kemudian Calvin menambah, “Betapa kecil kemampuan iman kita, karena karunia Roh Kudus jarang diberikan kepada kita dan hanya seperti tetes air… yang seharusnya akan ada aliran seperti sunggai seandainya kita mengakui Kristus secara tulus dan kuat, yaitu seandainya iman kita memberikan kemampuan untuk menerima-Nya”. Jadi hal yang menonjol di sini adalah, kehilangan karunia roh disebabkan oleh kekurangan iman kita, bukan karena dihentikan oleh Tuhan. Seandainya kita mengakui Kristus secara benar, apakah karunia-karunia akan mulai dilimpahkan dengan karunia roh lagi?
Pada umumnya teologi Kalvinis terbuka terhadap karunia roh dan kebenaran karismata pada masa kini. Waktu menulis tentang 1 Kor 13, Karl Barth membahas perwujudan Roh yang luar biasa, “Kalau perwujudan ini tak ada, maka layak ditanyakan apakah kesombongan atau kemalasan dalam komunitas itu yang mengakibatkan itu, yang kemudian memalsukan hubungannya dengan Tuhan, sampai hubungan itu menjadi pada namanya saja dan bukan hubungan benar?” A. A. Hoekema, yang tidak setuju dengan bahasa roh seperti dilakukan pada masa kini (“semacam reaksi manusiawi, … yang disebabkan secara psikologis”), tetap mengakui, “Kita tidak boleh mengikat Roh Kudus dengan memberi kesan bahwa Roh Kudus tidak bisa memberikan bahasa roh pada masa kini”. Juga ada kritik dari Gereja Skotlandia tentang penafsiran Calvin akan Markus 16:17, di mana karunia dijanjikan untuk siapa yang percaya. Perjanjian ini berlaku sampai selama-lamanya, dan tidak dibatasi pada permulaan Injil.
Kemudian ciri yang keempat adalah pembaptisan Roh Kudus. Untuk Gerakan Karismatik, pembaptisan itu adalah pemecahan rohani di mana beberapa karismata akan diwujudkan dan kehidupan Kristen diperbaharui. Soalnya teologi Aliran Kalvinis kurang jelas tentang pembaptisan dalam Roh Kudus, jadi belum ada konsensus yang muncul.
Sebagian dari ambivalens dalam hal ini berasal dari Calvin sendiri. Waktu Calvin membahas istilah, “pembaptisan dalam Roh Kudus”, ada dua pemahaman yang disampaikan yang tidak pernah disamakan. Dari satu segi, Calvin menganggap pembaptisan dalam Roh Kudus sebagai cara keselamatan atau kelahiran kembali:
Keselamatan yang sempurna adalah di dalam pribadi Kristus. Supaya kita dapat ikut serta dalam keselamatan tersebut, Yesus membaptiskan kita dengan Roh Kudus dan dengan api, untuk membawa kita ke dalam terang dari iman pada Injil-Nya, dan melalui itu memperbaharui kita supaya kita menjadi makhluk baru… dan Yesus menyucikan kita, supaya kita dibersihkan dari kekotoran dunaiwi, sebagai bait suci bagi Tuhan.
Pada segi lain, Calvin juga berbicara tentang pembaptisan dalam Roh Kudus sebagai sesuatu yang terkait dengan karunia roh yang dianugerahkan oleh Roh Kudus:
Itu adalah karunia yang nyata yang diberikan oleh Roh Kudus melalui penumpangan tangan. Bukan sesuatu yang baru kalau karunia ini ditunjukkan dengan kata “pembaptisan”. Pada hari raya Pentakosta, para murid mengingat kata-kata Yesus tentang pembaptisan dengan api dan dengan Roh Kudus. Petrus juga mengatakan hal yang sama … waktu ia melihat karunia roh itu dilimpahkan kepada Kornelius, keluarganya dan saudaranya (Kisah 11:16).
Juga dalam Commentary on Acts, Calvin menulis:
Bukan sesuatu yang baru untuk nama pembaptisan diterjemahkan sebagai karunia dari Roh, seperti kelihatan dalam fasal pertama dan ke-sebelas (KPR 1:5 dan 11:6), di mana Lukas mengatakan, waktu Kristus berjanji kepada murid-muridNya untuk mengutus Roh yang kelihatan, itu disebut pembaptisan… Waktu Roh Kudus turun ke atas Kornelius, Petrus mengingat kata Tuhan, “Engkau akan dibaptiskan oleh Roh Kudus”.
Jadi pendapat Calvin sedikit membingungkan. Dari segi eksegese, sepertinya Calvin tidak menganggap bahwa pembaptisan dalam Roh sejajar dengan pembaharuan tetapi dengan karunia yang nyata atau kelihatan dari Roh. Tetapi karena Calvin menganggap bahwa karunia itu sudah dihentikan (seperti sudah dibahas di atas), pembaptisan dalam Roh tidak mempunyai makna untuk gereja pada zaman ini. Jadi pendapat yang pertama, yaitu pembaptisan dalam Roh Kudus sama dengan pembaharuan, adalah satu-satunya pemahaman yang masih berlaku bagi orang Kristen pada masa kini, sesudah karunia roh ditiadakan.
Kalau kita ikut pemikiran Calvin dalam hal ini, apakah ada implikasi bahwa masalah untuk umat Kristen sekarang bukan kehilangan karunia roh tetapi kehilangan pembaptisan dalam Roh Kudus? Kalau pembaptisan dalam Roh Kudus dipahami sebagai pemberian Roh Kudus, di mana karunia roh dapat dihidupkan supaya berlaku dan bergerak di dalam kita? Jadi “karunia Roh Kudus” bukan hanya karunia-karunia tertentu, seperti bahasa roh, yang diberikan oleh Roh Kudus, tetapi pemberian Roh Kudus di mana kita mengalami kehadiran Roh di dalam diri kita yang memberi kita kekuatan untuk melakukan bermacam karismata, termasuk bahasa roh. Kalau kita membaca salah satu ayat tentang karunia roh:
Jawab Petrus kepada mereka: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”. Kis 2:38
Yang penting di sini adalah apakah “karunia Roh Kudus” mempunyai makna karunia yang diberikan oleh Roh Kudus atau Roh Kudus sebagai karunia yang diberikan. Berdasarkan ayat tersebut, sering dianggap bahwa orang akan diberi karunia Roh kalau mereka sudah dibaptis. Tetapi belum tentu bahwa pemahaman itu yang benar. Kalau orang bertobat dan dibaptis, seperti dikatakan Petrus, akan diberi Roh Kudus untuk memperkuatkannya untuk melakukan hal-hal yang terkait dengan pekabaran Injil, termasuk membantu dengan penerjemahan, misalnya.
Untuk Gerakan Karismatik pada masa kini, mereka percaya bahwa mereka dapat menerima karunia Roh Kudus dan untuk mereka itu diwujudkan sebagai bahasa roh dan lain-lain. Padahal menurut Calvin (dan Alkitab pada umumnya) dengan menerima karunia Roh Kudus mengakibatkan orang mengalami kehidupan baru oleh karena kasih karunia Tuhan kita. Apakah ada kemungkinan bahwa bahasa Roh atau hal yang tertentu dapat menjadi satu-satunya tanda bahwa kehidupan seseorang diperbaharui oleh Roh Kudus?
Salah satu hal tentang Calvin yang sangat penting adalah betapa kuat perasaannya terhadap spekulasi tentang Tuhan atau tentang hal apa saja yang terkait dengan iman dan teologi Kristen. Untuk Calvin, sola scriptura mempunyai arti yang sangat dalam. Bukan hanya bahwa kita harus sama sekali tergantung pada apa yang ditulis dalam Alkitab, tetapi kita juga tidak boleh membuat spekulasi tentang hal yang tidak dibahas dalam Alkitab. Kalau seseorang mulai berspekulasi, maksudnya ia melangkaui Alkitab dan membuat ide baru tentang Tuhan berdasarkan pikiran sendiri, atau mereka melewati Alkitab dan mencoba menyelidiki hal yang tidak dibahas di situ.
Satu kali ada seseorang yang bertanya kepada Calvin, “Apa yang Tuhan sedang melakukan sebelum menciptakan alam semesta?” Jawaban Calvin, “Menciptakan neraka untuk orang yang terlalu banyak bertanya”. Waktu memberi bimbingan untuk pendeta-pendeta lain tentang khotbah, Calvin menekankan, “Waktu kita masuk ke atas mimbar, tujuannya bukan untuk menyampaikan ide dan mimpi kita sendiri”.
Terus, ciri yang ke-lima dari Gerakan Katismatik adalah kemunculan persatuan yang tidak dibatasi oleh denominasi-denominasi. Calvin pernah menulis suatu surat kepada Uskup Agung di Canterbury di mana semangatnya untuk kesatuan diceritakan:
Salah satu hal yang paling buruk pada masa kini adalah pemisahan antara gereja-gereja kita, sampai hampir tidak ada persekutuan yang dapat dihormati di antara kita, apalagi komunikasi antara kita yang banyak dibicarakan tetapi sangat jarang dilakukan secara ikhlas.
Dalam tradisi Aliran Kalvinis, ada kesadaran tentang kepentingan persekutuan atau gerakan oikumenis. World Alliance of Reformed Churchs (WARC) adalah persekutuan yang pertama oleh gereja sedunia, yang mulai pada tahun 1875. Gereja-gereja Aliran Kalvinis dengan setia selalu berpartisipasi dalam gerakan oikumenis sejak awal abad ke-XX.
Ciri yang ke-enam dari Gerakan Karismatik adalah semangat baru untuk kesaksian tentang Injil. Penelitian baru dari beberapa sarjana Calvin sudah membuktikan bahwa Calvin sangat rajin dengan Pekabaran Injil; dari penungsiannya di Geneva, banyak orang misi diutus ke Perancis, sampai 100 jemaat didirikan di situ langsung oleh para orang misi yang diutus Calvin.
Ciri yang ke-tujuh adalah kebangkitan kembali pandangan eskatologis. Karena sungguh-sungguh yakin bahwa Tuhan akan memelihara kita dengan baik, Calvin tidak setuju dengan orang yang ingin tahu secara rinci tentang akhirat. Dalam buku Institutes, Calvin menulis,
Menurut pendapat saya, saya tidak hanya menahan diri dari penyelidikan berlebih-lebihan mengenai hal-hal yang tak berguna, tetapi saya juga menghindari memberi kontribusi kepada kesembronoan orang lain dengan tidak menjawab pertanyaannya.
Kalau kita merenungkan tentang Calvin dan Gerakan Karismatik, dapat dilihat bahwa pemahaman dan pengalaman Calvin jauh lebih luas daripada dipikirkan. Ada banyak hal di mana Calvin, kalau masih hidup, akan setuju dengan Gerakan Karismatik. Tetapi juga ada banyak hal di mana Calvin mendukung gereja arus-utama. Teologi Calvin jauh lebih luas dan lengkap, dan mungkin dengan memahami teologi Calvin secara lebih dalam, kita juga bisaketemu jalan untuk mendekati gereja Gerakan Karismatik secara oikumenis lagi, sebagai Gereja yang kudus dan am.