Selasa, 23 Februari 2010

CALVIN DAN DEMOKRASI

CALVIN DAN DEMOKRASI
Sebuah Refleksi Pdt. S.Th. Kaihatu. M.Th. Pengantar Kita tidak mempunyai dokumen tulisan Calvin tentang Demokrasi secara khusus. Karena itu yang bisa kita lacak adalah singgungan singgungan kecil dalam rangka pembicaraannya tentang hubungan Gereja dan Negara. Akan tetapi adalah kenyataan bahwa ada sejumlah negeri dimana ajaran Calvin didalami, yang menjadi negeri negeri demokratis. Dalam kesadaran bahwa konsep pemikiran politis berakar dalam filsafat yang selalu bersinggungan dengan etika dan karenanya dengan agama, maka menarik bagi kita untuk membicarakan Calvin dan Demokrasi. Konsekwensinya adalah bahwa pembicaraan ini akan lebih bersifat refleksi. Tetapi justru karena pembicaraan ini lebih banyak bersifat refleksi, maka kita bisa berharap akan kegunaannya, karena refleksi selalu bersifat pantulan ke depan. Konteks Batin Reformasi Mereka yang mengamati sejarah reformasi akan tiba pada kesimpulan bahwa reformasi adalah keharusan sejarah pasti akan terjadi. Kalau tidak oleh Luther dan kawan kawannya, maka itu akan dilakukan oleh orang lain. Sebab suasana batin yang ada di Eropah waktu itu mau tidak mau memerlukan sebuah khatarsis sebelum menjadi berdarah darah kemudian. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Eropah sebelum reformasi merupakan ajang perebutan kekuasaan antara para Paus dan para Raja. Raja dikucilkan Paus dan Paus dilengserkan raja. Karena saling mengklaim legitimasi maka Gereja menjadi semacam negara dalam negara dengan berbasiskan hukum ilahi, sementara negara tetap memandang warga Gereja sebagai warga negara yang karenanya harus taat pada hukum sipil. Namun pertarungan ini tidak terjadi secara serta merta. Pertarungan ini terjadi akibat perkembangan perkembangan pemikiran, entah itu pemikiran teologi Gereja, maupun pemikiran filosofis dalam masyarakat sendiri. Konsep kodrati dan adhi-kodrati ternyata tidak menyelesaikan masalah. Hal pertama yang sangat mempengaruhi suasana batin masa itu adalah apa yang biasanya kita kenal sebagai ‘renaissanse’ ( kelahiran kembali). Ini adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali kedalam keadaban. Didalam kelahiran kembali ini orang kembali kepada sumber sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan utamanya Filsafat Yunani. Tekanan diberikan kepada otonomi manusia dalam berpikir dalam mengadakan eksplorasi, eksperimen dalam mengembangkan seni, sastra dan pengetahuan di Eropah. Ini bertentangan dengan tradisi skholastik dan otoritas religious Katholik Roma khususnya. Kebangkitan Platonisme bergaung dan keterbukaan terhadap ilmu ilmu yang baru mulai terbentuk. Dalam lapisan agama, periode ini ditandai oleh ketidak-puasan dengan kemapanan dengan kepausan sebagai fokusnya. Hal yang kedua -sebetulnya merupakan anak dari yang pertama tapi disebutkan secara khusus- adalah ‘humanisme’. (humanum - ke-manusia-an). Humanisme mempunyai tiga ciri pokok. Pertama menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi. Kedua, menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir. Ketiga, mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatifitas dan perkembangan moral individu secara rasional, tanpa acuan kepada konsep konsep yang adhi-kodrati. Situasi batin inilah yang melahirkan konsep konsep pemikiran politis yang pada intinya entah meneguhkan, entah melawan supremasi papalisme, antara lain pikiran tentang demokrasi. Demokrasi Demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) - berawal dalam pemikiran Yunani- berarti bentuk politik dimana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Ini sebagai reaksi terhadap pemerintahan oleh satu orang (monarkhi) atau kelompok yang memiliki hak hak istimewa (aristokrasi). Pemerintahan oleh rakyat ini dapat dilakukan secara langsung, tetapi dapat juga melalui wakil wakil rakyat yang langsung dipilih oleh rakyat. Yang terakhir ini dikenal sebagai demokrasi perwakilan. Demokrasi mengandaikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa diskriminasi oleh apapun, sebab manusia - sebagai manusia- memiliki kesamaan dan kesetaraan. Dalam pemikiran modern, sebuah demokrasi yang hidup mengandaikan kematangan politik, penilaian yang baik dan kesiapan pada pihak warga negara untuk menempatkan kepentingan kepentingan pribadinya dibawah, sementara tuntutan tuntutan kesejahteraan umum diatasnya. Keputusan keputusan demokratis yang adil haruslah diakui sebagai yang mengingikat seluruh warga, karena otoritas yang legitim yang dimiliki rakyat -karena rakyat adalah manusia- dijalankan dengan sungguh sungguh. Memang harus diakui bahwa keputusan yang demokratispun tidak menjamin keadilan. Tapi paling tidak disini mayoritas yang berkuasa, tetapi hak hak minoritas sama sekali tidak diabaikan. Kekurangan pada sistim demokrasi -sama seperti kekurangan pada sistim monarki dan aristokrasi- disadari oleh Calvin yang jejaknya kita temukan dalam pandangannya menyangkut hubungan Gereja dan negara. Calvin Dalam uraiannya mengenai pemerintahan negara Calvin pasti dipengaruhi oleh suasana zamannya khususnya pemerintahan kota Jenewa. Dalam uraiannya tentang pemerintahan negara Calvin melihat bahaya monarkhi yang gampang jatuh kedalam kelaliman dan demokrasi yang gampang jatuh kedalam kekacauan. Karena itu Calvin memilih model ‘aristokrasi’, yaitu sebuah pemerintahan yang dilakukan oleh ‘orang orang yang terbaik’. Tetapi pasti yang dimaksudkan bukanlah para bangsawan. Untuk mengerti aristokrasi yang dipikirkan Calvin baiklah kita ingat bahwa Calvin berada dalam sebuah masyarakat yang berbentuk ‘corpus Christianum’. Tidak ada tantangan agama lain. Yang ada ialah kepelbagaian pikiran filosofis dan teologis dalam corpus chistianum itu. Bagi Calvin ada dua jenis pemerintahan, yakni pemerintahan rohani dan pemerintahan sipil. Kedua duanya berasal dari Allah. Pemerintahan rohani diselenggarakan oleh Gereja, membina manusia agar memperoleh keselamatan kekal, dilakukan dengan kuasa rohani. Pekerjaan Gereja ini menyangkut kesejahteraan jiwa manusia, keyakinan iman dan ungkapannya dalam perbuatan kasih. Pemerintahan sipil diselenggarakan oleh negara membina manusia dalam hal hal lahiriah untuk kelangsungan hidup secara fisik . Negara memerintah dengan kekuasaan dan paksaan, bahkan kalau perlu dengan kekuatan pedang. Tetapi baik aparat pemerintahan rohani maupun aparat pemerintahan sipil mestilah orang orang yang takut akan Allah. Dan kepatuhan terhadap firman Allah lah yang mestinya menjadi ukuran rakyat dalam pemilihan para ‘aristokrat’ yang memegang pemerintahan. Jadi, rakyat yang takut akan Tuhan, memilih orang orang yang takut akan Tuhan untuk menjadi pemerintah dalam suatu masyarakat yang takut akan Tuhan. Dari sisi inilah kita bisa mengerti sistim presbiterial – sinodal. Para presbiter adalah orang orang yang dipilih oleh umat. Dan dengan ini mau ditekankan proses yang mulai dari bawah, dari rakyat, dari umat. Mereka ini berada dalam sebuah ikatan sinodal. Tetapi aspek ‘dari bawah’ inilah yang menentukan. Sebab para presbiter harus melihat dirinya sebagai orang orang yang dipilih dalam kwalifikasi tertentu, dan pemilihan itu langsung dilakukan oleh umat. Tentu pada zaman Calvin ada tarik menarik mengenai peran negara -dalam hal ini dewan kota Jenewa- untuk penentuan itu. Tapi aspek ‘langsung’ dan ‘dari bawah’ inilah yang -entah sengaja atau tidak- bagi kita merupakan salah satu ciri kental dari apa yang sekarang kita sebutkan sebagai demokrasi. Calvin dan Kita Pikiran pikiran Calvin bisa kita katakan sebagai suatu dorongan bagi proses demokratisasi di dunia barat. Memang pikiran pikiran filosofis kental didalamnya. Akan tetapi tanpa pikiran teologis yang meletakkan semua manusia sebagai yang sama dihadapan Allah, sama berdosa dan sama membutuhkan pengampunan dosa, dan sama sama harus taat mutlak terhadap Firman, menjadi ‘pushing power’ yang membuat pikiran filosofis mendapatkan kekuatan teologis. Sama seperti gabungan Filsafat Yunani dan Yudeo-Christianity membuka jalan bagi perkembangan ilmu Pengetahuan karena menghapus mitos mitos pada alam, maka pikiran teologis tentang ‘presbiterial’ menggandeng pikiran pikiran renaissance -utamanya humanisme- melapangkan jalan bagi proses demokratisasi. Bahkan monarkhi dan aristokrasi modern menjadi konstitusional dalam mana pilhan rakyat sebagai hak dasar jadi mengemuka. Tidak heran kalau sistim pemerintahan Eropah -dan kemudian Amerika- diisi oleh semangat demokrasi, apapun model pemerintahannya. Pikiran demokratis yang dibawa ke Indonesia -lewat pernik pernik peristiwa yang rumit- pertama sekali masuk dalam suatu masyarakat dengan sistim aristokrasi feodal, baik itu berupa Kerajaan Kerajaan Hindu, maupun Kerajaan Kerajaan Islam. Dalam sistim aristokrasi feodal ini, konsep cuius regio eius religio ( ini daerahku ini agamaku ) jadi seperti kantong yang bocor dengan kehadiran pikiran ‘barat’, apakah itu melalui perdagangan, apakah itu melalui kolonisasi. Kesetaraan manusia -karena dia manusia- tanpa diskriminasi yang menjadi elemen utama demokrasi mestinya di dinamisir oleh theologi tentang kesetaraan manusia dihadapan Allah mestinya menjadi perhatian dan kontribusi strategis Gereja bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian reformasi tidak menghasilkan sebuah euphoria yang hanya berakhir dengan klaim mayoritas atas nama agama, suku atau semacamnya. Kalau Calvin masih hidup, mungkin kepada Gereja dia akan menitipkan pesan Paulus : Bersiap-siaplah untuk mempertanggung jawabkan iman, baik atau tidak baik waktunya. Soli Deo Gloria.- Sumber Sumber : Beaty.M and Farley. Benyamin.W. Calvin’s Ecclesiastical Advice. Edinburg. T&T Clark 1991 Calvin : Institutes of the Christian Religion (Ed. Mc Neill Joh.T) Westminster Press Philadelphia. Kerr. Hugh. T. : A Compend of the Institutes of the Christian Religion by John Calvin, Westminster Press Philadelphia Bagus Laurens : Kamus Filsafat. Jakarta Gramedia 1996 De Jonge Christian : Apa itu Calvinisme?. Jakarta BPK 1998 Kuyper Abraham : Ceramah Ceramah Mengenai Calvinisme (terj) Jakarta, Momentum 2005.