Kamis, 26 November 2009

TRADISI TEOLOGIS CALVINIS DI INDONESIA

Tradisi teologis Calvinis di Indonesia - sebuah pendekatan sejarah sosial

Siapa pewaris teologi Calvinis di Indonesia?
Bukan cuma gereja tetapi juga berbagai lembaga Kristen maupun lembaga publik/umum lainnya yang secara sadar-tak sadar, secara sengaja-tak sengaja, menggunakan pokok-pokok khas dalam teologi Calvinis: kedaulatan dan kemuliaan Allah, kebobrokan manusia, pentingnya pendidikan seumur hidup, perlunya hidup yang disiplin dan teratur, dst.
Kekristenan bukan hanya direpresentasikan oleh gereja-gereja. Tidak fair berbicara tentang Kekristenan hanya menyebut gereja. Dari sudut kelembagaan sesungguhnya lembaga gereja – dalam tradisi Protestan – hanyalah salah satu dari unsur pembentuk identitas masyarakat Kristen (di samping keluarga Kristen dan pendidikan/sekolah Kristen).
Gereja-gereja Calvinis di Indonesia banyak yang lalai dengan kenyataan bahwa lembaga keluarga dan lembaga pendidikan pada dasarnya adalah mitra sejajar dalam menanamkan nilai-nilai ‘Calvinis’. Sering terjadi gereja menyerahkan begitu saja penanaman nilai-nilai tersebut kepada masing-masing keluarga atau lembaga pendidikan, sehingga tak jarang banyak keluarga yang kehilangan pegangan, demikian juga para penyelenggara sekolah-sekolah Kristen. Hal ini bisa dimaklumi karena memang gereja-gereja kita sendiri tidak terlalu sepakat mengenai perlunya warisan tersebut dipertahankan. Gereja-gereja yang mengaku bertradisi Calvinis juga seringkali kehilangan orientasi di tengah berbagai perkembangan yang begitu kaya di dalam tradisi ini.

Dalam percakapan kali ini saya hendak mengajak kita memperhatikan beberapa hal. Yang pertama dan paling penting dalam rangka mengenang tokoh Reformasi yang penting ini adalah bahwa para pewaris langsung Calvin adalah murid-muridnya, yang bisa kita sebut sebagai kaum Calvinis atau Reformed. Gereja-gereja serta lembaga-lembaga Kristen di Indonesia adalah pewaris dari kaum Calvinis atau Reformed yang tidak perlu terlalu mengagungkan masa lalu, sebagaimana kaum Calvinis juga telah mengolah lebih lanjut warisan yang mereka terima dari para pendahulunya dan mereka gumuli dalam konteks mereka, serta dalam ketaatan kepada Firman. Prinsip ini penting karena dalam tradisi Reformasi perubahan demi aktualitas penerapan Firman adalah yang terutama. Ketika gereja berhenti mengembangkan diri, ia akan tercecer, atau terjebak di masa lampau.
Hal yang kedua adalah bahwa dalam perkembangan Kekristenan kaum Calvinis terbagi ke dalam banyak kelompok, ada yang fundamentalis ada yang moderat. Ada yang menjadi unsur pembentuk yang penting dalam gerakan keesaan sedunia, dan juga di Indonesia, ada yang dengan sadar tidak mau terlibat dalam gerakan keesaan sedunia (yang diwakili oleh WCC), namun tidak berkeberatan ikut serta dalam perkumpulan gereja-gereja Calvinis (dalam WARC dan/atau REC). Penting sekali bagi kita menyadari kepelbagaian di dalam tradisi Calvinis ini. Karena memang tidak ada satu pusat atau kekuatan sentralistik di dalam tradisi Calvin. Kekhasan tradisi ini adalah kesepakatan di dalam mekanisme persidangan di antara mitra sejajar, mulai dari lingkungan yang paling kecil (Jemaat setempat) hingga lingkungan yang paling luas (persidangan sinode nasional).
Dua prinsip penting ini akan menjadi rambu penting dalam percakapan kita saat ini: perubahan dinamis dan berkesinambungan di dalam tradisi; dan kepelbagaian ekspresi teologis di dalam tradisi sehingga menghasilkan kekayaan yang luar biasa. Jadi wajar juga, jika di antara sesame anggota keluarga besar Calvinis terjadi persaingan, bahkan pertengkaran.
Kita akan mulai mengamati perkembangan historis kehadiran teologi Calvinis yang masuk dan berkembang di Indonesia. Kemudian akan dilanjutkan dengan beberapa usul untuk mengapresiasi warisan teologi Calvinis bagi Kekristenan Indonesia masa kini.

Bagaimana pengaruh teologi Calvinis di kalangan Kekristenan dan masyarakat umum di Indonesia pada masa yang lampau?
Orang-orang Belanda belum terlalu lama menganut ‘agama’ Calvinis (gereformeerd religie) ketika mereka mulai melakukan penjelajahan samudera dan membangun imperium dagang yang impresif pada zamannya, Kongsi Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Ketika Sinode Nasional yang monumental berlangsung di Dordrecht (1618/19) kehadiran para pendeta dan kiprah gereja di Hindia juga ikut mendapat perhatian. Mulai dari proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu hingga posisi para pendeta yang dikirim ke Hindia. Mulai dari bahan-bahan katekisasi hingga status Kekristenan penduduk asli di Hindia yang baru dibaptis.
Dalam studi-studi zaman kolonial, para sejarawan menemukan hal menarik yang sering tidak disadari oleh para teolog dan sejarawan gereja. Yaitu bahwa proses penanaman Kekristenan (hal ini harus dibedakan dengan proses Kristenisasi atau pekabaran Injil yang mulai terjadi pada abad ke-19, melalui badan-badan misi swadaya) di kalangan kaum Protestan ternyata merupakan proses dua arah. Identitas Kekristenan di negeri asal (bangsa-bangsa Eropa Protestan, dalam studi mereka kebanyakan Inggris dan Belanda) tidak berkembang secara linear tanpa pengaruh pengalaman yang dibentuk di Hindia (wilayah-wilayah di mana VOC dan EIC, milik Inggris). Ternyata teologi yang dibawa tidak statis, bahkan bukan barang jadi yang sudah final.
Hal ini menjadi menarik karena ada banyak hal yang mereka jumpai di Hindia yang sama sekali merupakan pengalaman baru, dan tidak ada perbandingannya dengan pengalaman sebelumnya di negeri asal. Pengalaman baru ini menuntut mereka yang ada di lapangan (para pendeta, majelis gereja), maupun di negeri asal (pemegang saham kongsi dagang, dan persidangan-persidangan sinode, maupun panitia-panitia khusus yang dibentuk untuk menangani urusan di negeri seberang) untuk bekerja keras, bergumul dan kemudian merumuskan pengertian baru dan melakukan terobosan-terobosan teologis maupun legal/hukum. Dan bersama berjalannya waktu, serta munculnya generasi terdidik lulusan perguruan tinggi yang menjadi pendeta-pendeta di Belanda, sejumlah pendeta bukan sekadar sarjana teologi tetapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu yang lain: kedokteran, antropologi, linguistik, hukum dan berbagai ilmu lain yang berguna untuk perkembangan ilmu dan meretas jalan-jalan baru di dunia baru (Hindia) sambil tetap melakukan penanaman Kekristenan.
Beberapa contoh kecil, bagaimana Kekristenan Calvinis di Hindia bisa menjalani kehidupannya selama kurang lebih duaratus tahun yang pertama, dan bisa hidup dengan ‘biasa-biasa saja’ meski berbeda dengan ‘kebiasaan’ atau tradisi yang berlangsung di negeri asal. Para pendeta Belanda di Hindia, tidak berbeda dengan para pejabat VOC golongan menengah lainnya dalam hal kepemilikan budak. Hal ini tidak terbayangkan bisa mereka lakukan di Belanda, namun di Semarang atau Batavia, hal ini merupakan sesuatu yang biasa saja. Kita bisa bertanya lalu bagaimana dengan teologi tentang manusia dari para pendeta Calvinis pada abad ke-17 dan ke-18 di Hindia itu?
Masih soal budak. Ketika seorang budak masuk Kristen, maka secara sosial budak Kristen ini memiliki beberapa hak istimewa yang membedakan mereka dengan budak lainnya. Para tuan/nyonya Belanda memang diharapkan untuk mendorong para budak ini mengikuti katekisasi yang diselenggarakan oleh meester keliling¸ agar mereka bisa dibaptis dan masuk gereja. Budak yang masuk Kristen, memang tidak otomatis diberikan kemerdekaannya, namun mereka memiliki beberapa hak sipil yang tidak dimiliki oleh budak yang bukan Kristen. Mereka sebagai orang Kristen berhak mendapat pemberkatan nikah di gereja, dan dicatat secara resmi dalam catatan kependudukan. Bila mereka meninggal mereka juga akan menerima penguburan Kristen. Hal-hal ini mengingatkan kita bahwa menjadi Kristen sebelum periode Pekabaran Injil pada abad ke-19, sesungguhnya merupakan proses budaya. Orang-orang non-Kristen yang menjadi Kristen ‘meninggalkan’ adat atau agama lamanya, dan memasuki peradaban Kristen atau Barat.


Pada masa ketika para penginjil pertama utusan badan-badan misi swadaya (artinya bukan dibentuk oleh gereja atau oleh salah satu negara Eropa) menapakkan kakinya di Nusantara, situasi sudah berbeda secara mental dan politis. Nusantara setelah beberapa kali mengalami peralihan kekuasaan, akhirnya berada di tangan kekuasaan administratif Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Pemihakan dan hak-hak istimewa terhadap Kekristenan menurut ‘agama gereformeerd’ sudah bergeser. Perkembangan pemisahan gereja dan negara di Belanda membuat kebijakan pemerintah secara umum bersikap netral terhadap kelompok Kristen manapun untuk melakukan kegiatan pewartaan Injil di Nusantara. Di Belanda perkembangan gereja gereformeerd yang mengalami perpecahan, pada kurun waktu yang sama telah lahir juga berbagai gerakan kesalehan, gerakan swadaya yang membentuk kelompoknya sendiri-sendiri dan mengutus para penginjil ke Nusantara.
Berikut ini beberapa contoh warisan yang gereja-gereja kita warisi dari periode ini.
Pemahaman mengenai gereja.
• Sejak akhir abad ke-18 hak-hak istimewa gereja Hervormd telah dikurangi. Kebebasan beragama dijamin. Ada departemen khusus yang menangani urusan gereja ini, termasuk mengorganisasi ulang gereja. Di zaman yang baru ini, gereja, seperti juga negara Belanda yang berubah dari Republik menjadi negara kesatuan di dalam jajahan Prancis (di Nusantara diwakili oleh Daendels), setelah melalui masa di bawah kekuasaan Inggris (diwakili oleh Raffles), Belanda berlanjut sebagai negara kesatuan yang sentralistik pada masa Kerajaan. Gereja yang tadinya tidak jauh berbeda dengan sistem kenegaraan yang lama, yaitu masing-masing jemaat setempat mengurus dirinya sendiri, kini diseragamkan demi semangat kesatuan. Sistem presbiterial-sinodal disingkirkan. Segala sesuatu ditentukan oleh pusat, dalam hal ini di bawah departemen ibadah.
• Gereja Hervormd tidak lagi dipimpin oleh perwakilan atau perutusan jemaat-jemaat atau klasis yang dipilih melalui mekanisme persidangan, melainkan oleh orang-orang yang ditentukan oleh pemerintah. Mereka disebut sebagai pengurus (bestuur). Sementara itu gereja-gereja Gereformeerd (yang memisahkan diri dari satu gereja Belanda yang lebih tua, yang kemudian dikenal sebagai gereja Hervormd) berusaha untuk memelihara semangat Tata Gereja Dordrecht, mempertahankan kewibawaan dan peran klasis (bukan pemerintah) dalam hal urusan pendeta maupun kehidupan jemaat-jemaat.
Hubungan dengan pemerintah.
• Perbedaan pendekatan organisasi ini juga mewarnai pengelolaan badan-badan yang bergerak dalam bidang penginjilan dan pembinaan bagi Kekristenan yang sedang bertumbuh di Nusantara. De Jonge mengkritik pendekatan top-down dari gereja Hervormd yang lebih mengutamakan efisiensi, dan memperkerjakan kaum profesional, yang dinilainya mengurangi idealisme presbiterial-sinodal. Ia melihat pendekatan yang digunakan gereja Gereformeerd yang menggunakan perutusan dari klasis-klasis dalam pembentukan badan-badan tersebut, lebih mencerminkan semangat presbiterial-sinodal.
• Di Nusantara, gereja terutama Indische Kerk (GPI) mengikuti pola yang dialami oleh gereja Hervormd. Dan akibatnya gereja diatur secara sentralistik dari Batavia (sekarang Jakarta). Pendeta-pendeta IK diangkat oleh pemerintah, dan bukan oleh gereja. Hal ini sudah menjauhi pemahaman presbiterial-sinodal. Dalam hal ini situasi pada masa VOC lebih baik. Pada masa itu para pendeta yang diutus ke Nusantara, semuanya adalah pendeta yang ditahbiskan oleh klasis-klasis di Belanda. Bahkan bukan cuma para pendeta yang diutus oleh klasis-klasis, para penghibur orang sakit (krankbezoeker) juga banyak yang dikirim oleh klasis-klasis.
Sikap terhadap agama lain.
• Dari empat buku yang saya gunakan untuk mempersiapkan tulisan ini, hanya dua yang membicarakan mengenai sikap Kekristenan (Calvinis) terhadap Islam di Nusantara. Pada periode VOC – sikap umum terhadap Islam adalah menjaga jarak, untuk tidak saling mempengaruhi, dan seminimal mungkin berhubungan. Dalam studi saya atas situasi di Jawa menjelang akhir abad ke-18, para guru Kristen yang hendak keluar dari bagian kota Semarang yang dikuasai oleh VOC harus membawa surat jalan yang disetujui oleh Gubernur. Hal ini memperlihatkan betapa protektifnya pemerintah VOC terhadap personil gereja. Ruang gerak para pendeta VOC juga sama terbatasnya, tidak terbayangkan mereka bisa keluar masuk dengan bebas ke kampung-kampung di Jawa pada masa itu, sekalipun periode ini merupakan masa tenang yang relatif cukup panjang (sesudah Perjanjian Giyanti dan sebelum Perang Jawa pada abad ke-19 meletus di bawah kepemimpian Dipanegara).
• Niemeijer memperlihatkan dalam studinya bahwa Muslim di Batavia pada abad ke-17 relatif lebih bebas daripada kaum Katolik di tengah-tengah kota kaum Calvinis ini. Lebih menarik lagi, ternyata Islam tidak dilihat sebagai sebuah ancaman atau bahaya di Batavia. Patut diingat bahwa baik VOC dan kaum Muslim yang banyak berdatangan ke Batavia memiliki kepentingan yang sama: berdagang. Islam masuk ke Jawa melalui jalur perdagangan. Aspek ini yang sering dilupakan oleh para pengamat hubungan antar agama, bahwa baik Islam maupun Protestan datang ke Nusantara pertama kali dalam rangka kepentingan membangun perdagangan, dan berbeda dengan kehadiran Portugis (dan Spanyol) Katolik yang memang memiliki ambisi imperialisme (memperluas wilayah kerajaan).
• Van Boetzelaer memperlihatkan bahwa pada awal abad ke-20, sebagai konsekwensi dari sikap negara yang netral terhadap agama, maka bila satu agama menerima subsidi dari negara, semua agama yang ada juga akan menerimanya. Dalam beberapa kesempatan gereja Hervormd, menyatakan keberatan atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak memihak ini. Dalam hal ini tampak pemerintah sudah memperlihatkan kesadaran akan kenyatakan pluralitas yang ada, sementara gereja masih ‘terpenjara’ dengan bayang-bayang masa lalu ‘hubungan harmonis’antara pemerintah (yang ‘memelihara’) gereja.

Secara sadar saya memilih contoh-contoh di atas, yang menyangkut hubungan gereja dengan pihak luar. Karena hal ini berkait dengan perkembangan berikutnya pada gereja-gereja kita setelah memasuki masa kemerdekaan Indonesia. Teologi gereja yang mengabaikan perkembangan historis hanya akan membuat gereja tidak berdaya terhadap perkembangan yang terjadi. Sebagaimana halnya gereja yang ‘merasa’ menjadi anak tiri pemerintah Hindia Belanda yang berusaha mengayomi agama-agama yang ada di Nusantara.
Proses pembentukan Kekristenan di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan di masa lampau dan teologi yang dihasilkan di masa lampau. Teologi yang tidak kritis, dan berwawasan sempit akan ‘mengurung’ gereja di dalam masa lampau yang dikiranya ideal.
Pada perayaan 500 tahun Calvin ini banyak orang yang mengagungkan sistem pemerintahan gereja Calvinis yang dianggap cikal-bakal dari sistem demokrasi pada negara-negara modern. Padahal Calvin hanya memberikan isi teologis kepada sistem yang sudah berlangsung di negara-negara kota di Swiss sebelum ia sendiri mulai bekerja di Geneva, yaitu sistem yang tidak mempercayai rohaniwan seorang diri mengatur gereja. Ia memberi makna teologis kepada pekerjaan diakonat yang merupakan organ dari pemerintah kota yang berusaha mengatur, mengawasi dan mengatasi kemiskinan. Ia sendiri pada awalnya berpendapat hanya perlu dua jabatan gerejawi: penatua yang mengawasi dan mengatur gereja, dan diaken. Bahkan pada masa hidupnya sendiri, ternyata teologi Calvin tidak beku.
Tradisi-tradisi Calvinis yang dikembangkan oleh murid-murid Calvin justru sangat menghargai kepelbagaian dan kepekaan membaca pergumulan kontekstual serta aktual. Kalau ada satu hal yang bisa dilihat sebagai unsur yang tetap dalam tradisi Calvinis, adalah kepemimpinan yang dijalankan bersama (presbiterial-sinodal). Ketika hal ini diambil atau dikecilkan, gereja kehilangan dasar kontekstualnya, karena yang muncul kemudian adalah keseragaman dan kekuatan sentralistik yang bisa melumpuhkan daya hidup jemaat-jemaat setempat.
Menghadapi kemiskinan, hubungan antar-agama, misalnya merupakan pergumulan setempat yang tidak perlu diseragamkan dalam segala hal. Teologi-teologi lokal akan memperkaya gereja berdasarkan pergumulan masing-masing tempat.
Bagaimana menghargai dan mengaktualkan warisan teologi Calvinis bagi Kekristenan masa kini?
Tentu saja ini pekerjaan yang tidak mudah. Puluhan bahkan ratusan disertasi bisa dibuat untuk membahas persoalan ini. Baiklah saya menyebut beberapa saja untuk memperlihatkan arah yang bisa kita tempuh. Secara singkat dan cepat saya menyebut beberapa saja.
Soal kehadiran Kekristenan di dalam masyarakat. Yang dimaksud di sini bukanlah berpolitik praktis, melainkan untuk berdiri bersama dalam berbagai keprihatinan masyarakat. Kaum Calvinis pernah mempelopori membuang praktek mengemis dan berderma dan mendorong orang-orang miskin untuk hidup layak, dan pada saat yang sama mendorong masyarakat yang kehidupannya lebih baik untuk menopang kehidupan keluarga-keluarga miskin. Teologi keseimbangan dan penciptaan kesejahteraan merupakan tema penting dalam kehidupan kaum Calvinis Eropa.
Berikutnya adalah soal kehadiran Kekristenan di dalam dunia pendidikan modern. Ketika dunia pendidikan menjadi semakin komersial dan mekanistik untuk melayani kepentingan dunia global dan kapitalistik, saat ini dibutuhkan suatu visi pendidikan humanistik. Trend pendidikan sekarang ini semakin men-dehumanisasi manusia, pendidikan Kristiani harus melawan trend ini. Tradisi pendidikan Calvinis mendorong terbentuknya semangat pendidikan umum, pendidikan untuk semua, sehingga orang dapat berkembang sebagai individu yang bermartabat. Pengaruh Calvinisme tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dunia pendidikan umum di Eropa, dan kemudian berkembang luas keberbagai tempat. Pendidikan terutama untuk membangun manusia dan peradaban, suatu visi yang kuat menguasai Calvin dan murid-muridnya sebagai hasil dari gerakan Humanisme.
Yang terakhir dari saya adalah soal kehadiran Kekristenan dalam kenyataan kemajemukan di Indonesia. Sebagai orang Kristen kita perlu menentukan sikap dan pemihakan kepada minoritas tertindas. Dan Kekristenan di Indonesia juga merupakan minoritas dalam hal jumlah, oleh karena itu kita perlu mendorong warga bangsa dan warga gereja untuk mempedulikan keprihatian aktual bangsa dan bukan menangisi soal pembatasan izin mendirikan rumah ibadah (misalnya). Rumah ibadah bukanlah hal terpenting dalam tradisi Calvinis.
Bandung, 24 Agustus 2009
Pdt. Yusak Soleiman
dosen biasa STT Jakarta
untuk Peringatan 500 tahun Yohanes Calvin
oleh Majelis Sinode dan para Pendeta GPIB

LAMPIRAN
TABEL KRONOLOGIS SEJAK KELAHIRAN MARTIN LUTHER (1483) SAMPAI PENETAPAN TATA GEREJA NEDERLANDSE HERVORMDE KERK DI BELANDA DAN KEMANDIRIAN GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA (GPI) SECARA FINANSIAL DI INDONESIA (1950)
Tahun P e r i s t i w a
1483 Martin Luther lahir, 10 November
1484 Ulrich Zwingli lahir, 1 Januari
1491 Martin Bucer lahir, 11 November
1498 Ulrich Zwingli memulai studinya di Universitas Wina
1499 Yohanes a Lasco lahir, 8 Januari
1501 Luther memulai studinya di Universitas Erfurt
1509 John Calvin lahir, 10 Juli
1517 95 Tesis Luther di Wittenberg
1521 Luther diekskomunikasi
1530 Konfesi Augsburg
1531 Ulrich Zwingli wafat, 11 Oktober
1536 Institutio Calvin edisi pertama diterbitkan, Maret
1536 Calvin dipanggil ke Jenewa, Juli
1538 Calvin diusir dari Jenewa
1539 Colloquy di Marburg, Luther dan Zwingli menyepakati empatbelas pasal, pada pasal yang kelima belas mereka menyepakati lima butir dan tidak berhasil mencapai kesepakatan pada butir yang keenam, mengenai kehadiran Kristus pada saat sakramen Perjamuan Kudus
1539 Edisi kedua dari Institutio
1541 Calvin kembali ke Jenewa, September
1541 Colloquy di Regensburg (Ratisbon)
1542 Katekismus Geneva
1543 Institutio edisi 1543
1544 Konsistori (Majelis Gereja) di Emden, Frisia Timur dibentuk oleh humanis Yohanes a Lasco-sahabat dekat Erasmus Rotterdam ( cikal bakal dari Protestantisme yang berpengaruh di Belanda)
1545 Konsili Trente dibuka 13 Desember
1546 Luther meninggal, 18 Februari
1551 Periode kedua Konsili Trente
1551 Martin Bucer wafat, 28 Februari di Cambridge
1554 Katekisasi Emden disusun oleh Yohanes a Lasco
1557 Fungsi dan jabatan Diaken muncul untuk pertama kalinya di Emden (13 tahun setelah terbentuknya konsistori: pendeta dan penatua)
1557 Kaum bangsawan Skolandia atas anjuran John Knox (1513-72) menandatangani Perjanjian (Covenant) yang akan menjadi tonggak penting dalam Refomasi Skotlandia
1559 Pengakuan Iman Gereja Prancis = Confessio Gallica Discipline ecclésiastique, Tata gereja Prancis; Institutio edisi terakhir yang besarnya 5 kali lipat edisi pertama (1536)
1560 Yohanes a Lasco wafat
1561 Pengakuan Iman Gereja Belanda = Confessio Belgica (disusun oleh Guy de Brès: dalam bahasa Prancis) yang diinspirasikan oleh Pengakuan iman gereja Prancis (1559)
1561 Peraturan Gereja Geneva
1562 Pembantaian di Vassey (kaum Huguenots – orang-orang Protestan Prancis – yang menjadi korbannya); awal Perang-perang agama di Prancis
1563 Akhir Konsili Trente
1563 Katekismus Heildelberg rampung disusun (oleh Ursinus [murid Melanchthon] dan Olivianus [murid dari Calvin])
1564 Calvin meninggal, 27 Mei
1566 Pemberontakan orang-orang Belanda di bawah pimpinan Wiliam dari Oranje terhadap Spanyol (Philip II), berlangsung sampai dengan 1578 dengan kemenangan Belanda
1571 Sinode resmi pertama gereja-gereja Protestan Belanda menghasilkan Tata gereja Belanda (sinode di Emden) yaitu Gereja Gereformeerd (berdasarkan Tata gereja Prancis, 1559); penetapan penggunaan Katekismus Heildelberg (diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Dathenus) dan Katekismus Geneva (yang digunakan oleh komunitas berbahasa Prancis).
1572 Gereja Gereformeerd mulai berfungsi : sinode pertama di Edam
1573 Sinode provinsi Noord-Holland kedua di Alkmaar
1575 Universitas Leiden berdiri disusul oleh Franeker (1585), Groningen (1674), Utrecht (1636) dan Herderwijk (1648), dan Leiden menjadi pusat pendidikan teologi Calvinisme yang penting di Belanda. Pada abad ke-17 para teolog Belanda menempati posisi yang penting dalam tradisi Calvinisme sedunia.
1578 Sinode nasional pertama gereja-gereja Belanda di Dordrecht
1581 Sinode nasional kedua di Middelburg ; sudah ada enam regional-klasis dari sinode provinsi Noord-Holland: Haarlem, Amsterdam, Alkmaar, Hoorn, Enkhuizen dan Edam; dan delapan regional-klasis dari sinode provinsi Zuid-Holland; dan empat regional-klasis dari sinode provinsi Zeeland: termasuk klasis terbesar di Republik  klasis pulau Walcheren; tiga klasis dari sinode Utrecht; tiga klasis dari sinode Friesland; lima klasis dari Overijssel (dengan tiga kota utamanya: Deventer, Zwolle dan Kampen); tiga klasis dari Drenthe.
1586 Sinode nasional ketiga di Den Haag
1588 Republik Tujuh Negeri Belanda yang Dipersatukan dipimpin oleh Staten-Generaal (Dewan Umum wakil dari 7 propinsi)
1596 Kapal-kapal Belanda mendarat di Banten
1598 Edik Nantes (13 April), mengakhiri perang-perang agama di Prancis; memberikan kaum Huguenots hak-hak sipil dan keagamaan. Hal ini kemudian dilanggar lagi oleh keluarga kerajaan sehingga terjadilah perang agama di Prancis. Penindasan yang terus-menerus menyebabkan kaum Huguenots mengungsi ke Inggris, Jerman dan Amerika.
1602 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) berdiri: didukung oleh kota-kota Amsterdam, Middelburg, Rotterdam, Delft, Hoorn dan Enkhuizen
1605 Ibadah komunitas Protestan pertama di Fort Victoria, Ambon. (27 Februari)  dirayakan pada 27 Februari 2005 sebagai 400 tahun Protestantisme di Nusantara
1618 Awal Perang 30 tahun antara kaum Katolik dan Protestan, terjadi dalam beberapa gelombang (Bohemia, Denmark, Swedia dan Prancis). Pada 1648 ketika perang berakhir kerajaan Romawi Suci mendekati keruntuhan totalnya dan orang-orang di Eropa umumnya memutuskan untuk selanjutnya tidak lagi terjadi perang demi agama.
1618 Sinode nasional keempat di Dordrecht
1619 Tata gereja Belanda (Dordrecht) diperbarui; Lima pasal (yang sering diringkas oleh kaum ultra-ortodoks-Calvinis pada abad ke-19/ke-20 sebagai TULIP ) dirumuskan, untuk melawan kaum Remonstran (pendukung Jacobus Arminius [1650-1609])  gereja Gereformeerd terpecah, muncul Remonstrantse Broederschap; Sinode ini merupakan sinode nasional terakhir sebelum abad ke-20 (sesudah Dordrecht pemerintah melarang diadakannya lagi sinode-sinode nasional)
1621 Majelis jemaat pertama di ‘Indonesia’, terbentuk di Batavia; disusul kemudian 1622 di Banda, 1625 di Ambon, 1626 di Ternate; hal ini terjadi pada masa kekuasaan Gubernur Jendral J.P. Coen; Klasis Walcheren (Zeeland) mendapat tugas mengurus pengutusan/pengiriman pendeta dan personil gereja lainnya ke seberang lautan
1622 Setelah Jayakarta direbut (1619) dan diubah namanya menjadi Batavia, VOC yang menerima hak sebagai pemerintah yang berdaulat harus melakukan kewajiban pemerintah Kristen: melindungi gereja dan memajukan agama Gereformeerd (ditegaskan dalam octrooi [surat kuasa] yang kedua untuk VOC, yang dikeluarkan pada tahun ini dan juga ditegaskan di dalam Pengakuan Iman Belanda). VOC melakukan tindakan drastis: misionaris Katolik (Portugis dan Spanyol) diusir; orang-orang pribumi Kristen (Katolik) diwajibkan menjadi anggota gereja Gereformeerd.
1624 Tata Gereja pertama gereja Gereformeerd di ‘Indonesia’ diberlakukan; hal ini terjadi pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Pieter de Carpentier
1633 Gereja berbahasa Melayu Batavia mendapatkan gedungnya sendiri (dari bambu; dan pada 1678 gedung berbatu)
1636 Klasis Amsterdam mendapat tugas mengurus pengutusan/pengiriman pendeta dan personil gereja lainnya ke seberang lautan; Noord- & Zuid-Hollandse Sinode mengurusi personil di Hindia
1643 Tata Gereja jemaat Batavia (Tata Gereja yang kedua ini berlaku sampai dengan pembubaran VOC, 1799); hal ini terjadi pada masa berkuasanya Gubernur Jendral Van Diemen
1646 Pengakuan Iman Westminster (hasil Westminster Assembly, 1643-52)
1655 Pengakuan Iman Waldensia (berdasarkan Confessio Gallica, 1559)
1658 Deklarasi Savoy (London) mengenai ajaran dan tata gereja bagi kaum Kongregasionalis
1660 Restauration dari Kerajaan Inggris, gereja Anglican menganut struktur High Church, kaum Presbyterian dan Congregasionalist menjadi dissenter atau non-conformist
1673 Tata Gereja Ambon diberlakukan
1689 Act of Toleration di Inggris menjamin kebebasan untuk berbeda pendapat, namun kaum Presbyterian dan Congregasionalist tetap berada di luar gereja Anglican.
1695 Gereja (berbahasa) Portugis  Gereja Sion dibuka
1747 Gereja Tugu dibuka
1753 Majelis Jemaat GK Semarang terbentuk (kembali) dan berfungsi (dengan hadirnya pendeta yang menetap)
1780 – 1784 Perang Inggris dan Belanda (Anglo-Dutch war)
1795 VOC dinasionalisasikan
1797 Perkumpulan Penginjil Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschap = NZG) berdiri di Belanda
1798 Pemisahan antara gereja dan negara di Belanda; tidak ada lagi hak istimewa bagi gereja Gereformeerd, semua gereja diperlakukan sama.
1799 VOC dibubarkan
1808 Sesuai dengan cita-cita revolusi Prancis diumumkan kebebasan beragama dan negara bersikap netral terhadap agama; Belanda sedang diduduki oleh Prancis; Daendels (pro-Napoleon) dikirim ke Hindia
1813 Negeri Belanda menjadi Kerajaan
1814 Perkumpulan Alkitab Belanda (Nederlandse Bijbelgenootschap = NBG) berdiri di Belanda
1815 Undang-undang Dasar Belanda memberi kuasa pada Raja untuk menentukan perkembangan daerah jajahan (termasuk gereja yang ada).
1816 Raja Belanda, Willem I, menandatangani ‘Peraturan umum untuk pemerintahan Gereja Hervormd’ (Algemeen Reglement van Bestuur der Hervomde Kerk in het Koninkrijk der Nederlanden) sejak saat ini berubahlah nama Gereformeerde Kerk menjadi Nederlandse Hervormde Kerk [gereformeerd  yang direformasikan; hervormd  dibentuk kembali]; Algemeen Reglement ini menggantikan Kerk Orde (Tata gereja Dordrecht), susunan organisasi gereja menjadi hirarkis
1820 Haagse Commissie (Panitia untuk perkara-perkara Gereja-gereja Protestan di Hindia Belanda Timur dan Barat) ditunjuk oleh pemerintah untuk mengurus gereja-gereja di tanah jajahan
1820 Perkumpulan literatur keagamaan Belanda (Nederlands Godsdienstig Tractaat Genootschap) berdiri di Belanda
1834 Afscheiding, pemisahan jemaat-jemaat Hervormd menjadi Christelijk Gereformeerde Kerk dan jemaat-jemaat mandiri lainnya (dimulai di Ulrum wilayah Groningen, 14 Oktober); gereja-gereja yang memisahkan diri ini kembali ke idealisme Tata Gereja Dordrecht
1835 Gereja Hervormd di Hindia Belanda dan gereja-gereja Protestan lainnya digabungkan menjadi Protestanse Indische Kerk (Gereja Protestan Hindia = Gereja Protestan di Hindia Belanda = GPI); 1840 dibuatlah peraturan gerejanya; 1844 mulai diberlakukan  semua orang Protestan dipersatukan menjadi anggota gereja ini di bawah satu badan pengurus (kerkbestuur).
1846 Berdirinya Evangelical Alliance di London, yaitu persekutuan orang-orang Protestan, salah satu perintis gerakan Keesaan Modern
1848 UUD 1848 di Belanda memberi hak pada parlemen untuk mengontrol pemerintah (juga di negara jajahan), akibatnya GPI secara resmi tidak boleh lagi mengabarkan Injil; tugas gereja dibatasi hanya sekadar pemeliharaan rohani bagi mereka yang sudah menjadi anggota.
1852 Setelah Kerajaan Belanda menjadi monarki konstitusional (1848), pengawasan atas gereja berakhir dan ditetapkan Peraturan Umum yang baru (1853)
1875 Jemaat-jemaat pribumi hasil zending Belanda diserahkan kepada GPI
1875 Berdirinya World Alliance of Reformed Churches (WARC)
1886 Doleantie, terjadi pemisahan dari gereja Hervormd menjadi jemaat-jemaat yang bersedih (= dolere)
1892 Sebagian jemaat Afscheiding bergabung dengan jemaat Doleantie menjadi Gereformeerde Kerken in Nederland
1910 Konperensi pekabaran Injil di Edinburgh, momentum penting dari berbagai gerakan dan organisasi keesaan sedunia
1928 Konperensi pekabaran Injil di Yerusalem (IMC I)
1933 Rapat besar GPI di Batavia untuk merancang Tata gereja GPI mandiri yang tidak lagi merupakan lembaga pemerintah
1934 Sinode Gereja Minahasa diresmikan
1935 Sinode Gereja Maluku diresmikan
1936 Pemisahan gereja dan negara secara administratif (GPI)
1945 Sinode nasional gereja Hervomd setelah 300 tahun (terakhir Dordrecht, 1619) yang menugaskan penyusunan Tata Gereja yang baru (selesai 1950; diberlakukan 1951)
1947 Sinode Gereja Timor diresmikan
1948 Tata Gereja GPI
1950 Tata Gereja Hervomd diperbarui dan mengembalikan semangat presbiterial-sinodal yang telah hilang sejak Peraturan Umum 1816
1950 GPI mulai membiayai dirinya sendiri dan terlepas dari bantuan keuangan dari negara (Belanda)

2 komentar:

  1. hai...nice blog..
    bisakah anda memberi komentar di blog saya

    http//jalanibrahim.wordpress.com

    thanks atas kommentnya

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas perhatian saudara, bila ada kesempatan saya pasti mengunjungi bg saudara

    BalasHapus